Gugat Ketimpangan, Serukan Revolusi Etika dan Ekonomi
BANTUL, jogja-ngangkring.com – "Keadilan belum turun ke bumi. Ia masih nyaman di langit." Kalimat penuh makna ini dilontarkan Timotyus Apriyanto, analis koperasi sekaligus Dewan Pengawas Koperasi Seniman dan Budayawan Adiluhung Yogyakarta (KOSETA), dalam forum diskusi Sabtu (28/6/2025) di Jamur Jawon Resto, Wiyoro, Banguntapan, Bantul.
Di hadapan para pelaku seni, budaya, dan komunitas, Timotyus menyuarakan keresahan atas realitas hari ini: ketimpangan sosial dan ekonomi kian mencolok, kesejahteraan hanya dinikmati segelintir kalangan, dan sistem pendidikan gagal menjadi jalan keluar bagi rakyat kecil.
"Pendidikan kita tak lagi jadi jalan naik kelas, malah memantapkan kasta. Rakyat bukan hanya kesulitan hidup, bahkan sekadar berharap pun semakin mahal," ujarnya tegas.
Forum berlangsung hangat dengan nada kegelisahan yang konstruktif. Keadilan sosial menjadi topik sentral, dan koperasi dimaknai ulang bukan semata sebagai entitas ekonomi, melainkan juga sebagai alat perjuangan nilai dan moral.
Sigit Sugito, selaku ketua Koseta menegaskan bahwa koperasi harus menjadi jembatan antara idealisme dan kebutuhan konkret masyarakat. "Kami menginginkan sistem ekonomi yang tak hanya mengejar keuntungan, tapi juga menjunjung kehormatan. Dari sinilah nilai ditanam, dan kesejahteraan bisa tumbuh," ujarnya.
Diskusi ini menjadi bukti bahwa ruang-ruang dialog alternatif masih tumbuh, menghadirkan gagasan yang berpihak pada rakyat dan budaya. Bukan sekadar rutinitas bulanan, tetapi bentuk nyata kesadaran kolektif untuk menjaga harapan dan mewujudkan gagasan besar dalam tindakan nyata.
Puncak sesi diwarnai refleksi tajam dari Prof. Dr. Zuli Qodir, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Ketua Gerakan Pembumian Pancasila. Ia menyoroti krisis integritas yang kini melanda bangsa.
"Negeri ini sedang darurat moral. Suap, pelanggaran hukum, dan korupsi bukan lagi penyimpangan, tapi telah menjadi sistemik," tegasnya. Menurut Prof. Zuli, sila kelima Pancasila selama ini hanya menjadi slogan kosong. "Keadilan sosial masih sebatas jargon, sementara kenyataan yang muncul justru ketimpangan dan tajamnya hukum ke bawah." Ia juga mengajak seluruh elemen bangsa untuk menghidupkan kembali Pancasila sebagai panduan etika publik. "Jika tak dimulai dari sekarang, kita akan kehilangan arah sebagai bangsa," tuturnya penuh keprihatinan.
Diskusi bulanan Koseta ini menjadi oase di tengah kekeringan makna dalam kehidupan sosial. Seruan yang muncul jelas: saatnya mewujudkan keadilan yang berpijak pada budaya, berakar di solidaritas ekonomi, dan bermuara pada kesejahteraan rakyat. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar