Sembilan Tahun di Jalan Kabut Menuju Cahaya Abuya Thoifur
Aku pertama kali mendengar nama KH Muhammad Thoifur Mawardi awal 2000-an. Saat itu di eks Karisidenan Kedu dan sekitarnya, nama beliau harum sebagai kiai kharismatik yang teguh memegang tauhid. Dihormati pemerintah, disegani masyarakat, dan menjadi sandaran umat.
Namun, aku baru benar-benar menjadi “santri kalong” pada 2016. Setiap Jumat pagi, aku menempuh perjalanan dari Kotagede Yogyakarta ke Kedungsari Purworejo lewat Kaligesing dengan motor tua. Jalan panjang, kadang berkabut, kadang hujan. Lelah hilang seketika begitu sampai di pengajian. Tepat pukul sembilan, Abah memulai kajian. Kitabnya berganti-ganti dari Tafsir Jalalain hingga Riyadhus Shalihin. Jamaah datang dari berbagai kota, dari berbagai ormas Islam. Semua duduk bersama, tanpa sekat. Di hadapan Abah semua sama, murid yang mencari ilmu.
Abah yang wira'i, zuhud, dan istiqamah. Pesantrennya, Darut Tauhid, tak pernah dijadikan bisnis. Syahriah bulanan hanya Rp5.500, uang pendaftaran Rp25.000, bahkan anak beliau sendiri tetap membayar. Abah tegas menjaga amanah. Pernah seorang santri mencuri listrik pondok, Abah marah, “Apa kamu mau mengajarkan kiyaimu jadi maling, Mas?”
Abah tak pernah menikmati bisyarah untuk dirinya. Uang selalu dibagikan. Makan pun sederhana, sekali sehari dengan lauk seadanya. Pajak motor tuanya tetap dibayar, meski beliau keras mengkritik kemaksiatan pemerintah. Itulah teladan, kritis tapi adil. Ibadahnya istiqamah. Setiap pagi Abah mengulang hafalan Qur’an, disimakkan santri. Beliau membaca hadits, tafsir, sejarah Nabi. “Jalan untuk bertemu Rasulullah,” katanya. Pesan terakhirnya sebelum wafat, “Perbanyaklah ngaji kitab hadits. Setiap membaca hadits, kita bertawasul dengan Rasulullah.”
Abah adalah guru sejati. Dari pagi hingga malam, mengajar tanpa henti. Kalau bepergian, jadwal ngaji dimajukan atau diganti sepulangnya. Disiplin ilmu adalah nafas beliau. Dalam menerima tamu, Abah ramah tanpa protokoler. Semua yang datang wajib makan. Dari rakyat kecil hingga pejabat tinggi, semua diterima. Banyak yang curhat hidup, Abah mendengar, menenangkan, bahkan memberi uang. Hatinya lembut. Sering menangis saat bercerita tentang Rasulullah. Pesantrennya egaliter, Abah sering makan satu nampan bersama santri, bercanda sekaligus mendidik.
Di balik ketawaduannya, Abah ulama besar. Ia nyantri di banyak pesantren, lalu 12 tahun belajar di Makkah pada Sayyid Muhammad Al-Maliki. Karena kealimannya, beliau dipercaya mengajar di sana. Karomahnya dikenal luas, doanya mustajab, berjalan di bawah hujan tanpa basah, mimpi bertemu Rasulullah yang terbukti nyata. Bahkan sumur di Rushoifah, Makkah, dinamai Bi’ru Thoifur karena dibangun sesuai petunjuk Rasulullah dalam mimpi beliau.
Saat Abah wafat Selasa 19 Agustus 2025 di usia 70, bumi diguyur hujan. Hujan deras di musim kemarau. "Wafatnya orang alim itu di hari Selasa," demikian pernah disampaikan oleh KH Maimoen Zubair. Ribuan orang mengiringi kepergian beliau, jalan-jalan desa berubah lautan manusia. Malam itu aku hadir, suasana duka bercampur haru memenuhi udara.
Kini, Jumat terasa sepi tanpa suara Abah menjelaskan Jalalain. Namun warisannya hidup, Daaruttauhid yang egaliter, sanad ilmu yang bersambung hingga Rasulullah, teladan akhlak yang abadi.
Bagiku, sembilan tahun ngaji bersama Abah adalah anugerah tak ternilai. Dari beliau aku belajar istiqamah, ikhlas, dan cinta Rasulullah. Dan aku percaya, hidupku pun akan berakhir di jalan ngaji dan ibadah, sebagaimana Abah telah menuntun dengan teladannya. (tor)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar