TERAS

Historiografi Walisanga: Islam Datang, Jawa Menjawikan

  • Administrator
  • Senin, 11 Agustus 2025
  • menit membaca
  • 367x baca
Historiografi Walisanga: Islam Datang, Jawa Menjawikan

Historiografi Walisanga: Islam Datang, Jawa Menjawikan

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com — Ahad siang, 10 Agustus 2025, aula Pondok Putri Nurul Ummahat di Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, dipenuhi kursi yang nyaris tak tersisa kosong. Ratusan pasang mata tertuju ke panggung tempat dua tokoh duduk berdampingan: Ahmad Baso, penulis buku Historiografi Wali Sanga, dan KH Abdul Muhaimin, pengasuh Pesantren Nurul Ummahat, yang kali ini menjadi pembahas.

Namun siang itu bukan sekadar acara peluncuran buku. Diskusi berkembang menjadi perjalanan intelektual menembus lima abad lalu, membongkar lapisan-lapisan sejarah yang kerap luput dari perhatian publik.

Baso membuka paparannya dengan sebuah pengingat bahwa banyak naskah kuno dari keraton-keraton di Jawa justru tersimpan jauh di  Belanda (Eropa), dibawa pada masa penjajahan. Di Jawa sendiri, kata Baso, terdapat “kantong-kantong naskah” penting—mulai dari Cirebon, Gresik, hingga Demak—yang menyimpan jejak jaringan global Walisanga abad ke-15.

“Walisanga bukan sekadar tokoh lokal,” tegasnya. “Mereka datang dari Arab, Yaman, Gujarat, Persia, hingga Maghrobi. Mereka kemudian menetap di Jawa, bertransformasi menjadi bagian dari kebudayaan setempat.” Ia mencontohkan Sunan Ampel yang, ketika ditanya asalnya, hanya menjawab singkat, "Saya Ngajawi".

Baso membongkar narasi umum bahwa Islamisasi Jawa dibangun di atas kekuasaan atau kepentingan politik. Menurutnya, para wali justru bebas dari agenda kerajaan. “Mereka bukan pembawa misi politik kekuasaan. Mereka sudah mapan secara ekonomi dan ilmu. Mereka orang-orang sufi, datang ke Nusantara membawa satu kapal penuh kitab-kitab keagamaan,” ungkapnya.

Dakwah para wali, lanjut Baso, tidak dimulai dengan seruan teologis semata. Mereka terlebih dahulu membangun harmoni sosial yaitu memperkuat ekonomi rakyat, menghidupkan seni, dan merawat tata kelola masyarakat. Setelah tercipta kepercayaan dan keterbukaan barulah mereka mengajak masyarakat bertauhid dan beribadah.

Menariknya, proses itu menciptakan arus balik. Setelah diislamkan oleh para ulama dari Arab dan Yaman, masyarakat Jawa justru “menjawikan” Islam—mengolah ajaran itu dengan rasa, bahasa, dan tradisi lokal. Dari rahim masyarakat ini lahirlah para ulama dan kiai yang kelak menjadi wali besar dan tersebar di seluruh Nusantara.

KH Abdul Muhaimin menegaskan bahwa memahami Walisanga tidak bisa dilepaskan dari kekuatan literasi dan etos dakwah yang utuh. “Para wali tidak memecah, tapi menyatukan. Mereka memberdayakan ekonomi, menghidupkan seni, dan menumbuhkan rasa kebersamaan,” ujarnya.

Diskusi siang itu mengalir seperti aliran sejarah yang dituturkan ulang, tidak sekadar menengok masa lalu, tetapi juga menjadi cermin untuk menimbang kembali cara Islam Nusantara membangun jembatan antara ilmu, kemanusiaan, dan kebudayaan. (Tor)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar