Hijaukan Bumi, Gerakan Nyamplung dari Jogkem untuk Masa Depan
Foto: Arya Ariyanto menyerahkan pohon Nyamplung kepada Ny. Ani Triana (istri pendiri Komunitas Resan Gunung Kidul Edy Padmo) di kediamannya Bleberan Playen Gunung Kidul.
Yogyakarta, jogja-ngangkring.com – Ketika suhu bumi terus meningkat dan krisis iklim kian nyata, langkah kecil dari akar rumput bisa menjadi tonggak perubahan besar. Jogkem Grup menunjukkan hal itu melalui aksi lingkungan bertajuk Jogkem Peduli Lingkungan dengan menanam pohon nyamplung (Calophyllum inophyllum) secara gratis di dua lokasi strategis: Resan Dusun Tanjung 1, Kalurahan Bleberan, Playen, Gunungkidul dan Yayasan Maskumambang Mangku Merapi, Jl. Turgo, Ngepring, Pakem, Sleman.
Penanaman pohon ini bukan sekadar seremonial. “Ini adalah bentuk perlawanan terhadap krisis iklim dan ketergantungan pada komoditas yang merusak seperti sawit,” tegas Arya Ariyanto, inisiator gerakan, dalam wawancara Senin (21/7).
Laporan Copernicus Climate Change Service mencatat bahwa suhu global sepanjang 2023–2024 melonjak rata-rata 1,48°C di atas era pra-industri. Dampaknya terasa nyata: dari kekeringan ekstrem hingga banjir bandang. Di Kalimantan Tengah, banjir besar tahun ini disebut sebagai imbas langsung dari alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit.
"Ketika akar-akar hutan lenyap, daya serap air hilang. Sawit, yang dijanjikan sebagai emas hijau, justru menjadi biang petaka ekologis,” tambah Arya.
Dibandingkan pohon jati atau trembesi, nyamplung terbukti lebih andal menyerap karbon di wilayah kering seperti Gunungkidul. Akarnya kuat dan dalam, menyerupai beringin, serta tetap hijau di tengah musim kering ekstrem. Tak hanya itu, bijinya menghasilkan minyak tamanu yang bisa dimanfaatkan untuk bioenergi (biosolar) hingga produk kesehatan herbal.
“Nyamplung bukan hanya menyelamatkan lingkungan, tapi juga membuka jalan ekonomi baru bagi rakyat,” ujar Arya.
Meski terus dijadikan andalan, sawit dinilai bukan solusi jangka panjang. Pupuk kimia intensif merusak tanah, dan perluasan kebun kerap mengorbankan hutan primer. Arya menyebut klaim sawit sebagai energi baru terbarukan (EBT) adalah “separuh kebenaran”.
“Kalau EBT mengorbankan ketahanan pangan dan ekosistem, itu bukan kebijakan cerdas. Kita perlu beralih ke tanaman seperti nyamplung yang lebih lestari,” ujarnya.
Foto: Arya Ariyanto menyerahkan pohon nyamplung kepada Owner Yayasan Maskumambang Mangku Merapi Dr. Adfar Amar di Turgo Ngepring Pakem Sleman
Nyamplung juga berperan dalam skema perdagangan karbon. Dengan harga pasar karbon sekitar USD 10–15 per ton CO₂, potensi Indonesia bisa mencapai Rp11.000 triliun per tahun. Namun, sayangnya, Arya menilai kebijakan negara belum berpihak ke potensi hutan rakyat dan karbon lestari.
“Potensi luar biasa ini nyaris tak tergarap. Pemerintah lebih sibuk mengurus narasi sawit,” kritiknya.
Gerakan seperti Jogkem Grup adalah contoh nyata bagaimana rakyat kecil tetap bisa bersuara, bahkan ketika ruang kebijakan dibanjiri kepentingan korporasi.
“Kalau kita tidak segera menanam pohon yang tepat, kelak kita hanya akan menanam penyesalan,” pungkas Arya. “Nyamplung bukan sekadar pohon—ia adalah harapan dan perlawanan hidup terhadap kematian bumi.” (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar