Jamasan Keris, Membaca Doa dalam Bilah
Yogyakarta, jogja-ngangkring.com –
Sabtu (19/7), di Aula Kampus ATEKPI Gedong Kuning, Pasederekan Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II (HB II) kembali menggelar Jamasan Pusaka, sebuah tradisi merawat keris dan tosan aji lainnya sebagai bentuk pelestarian warisan leluhur.
Ritual yang digelar rutin ini tak hanya menjadi ajang pelestarian benda-benda pusaka, tetapi juga momentum penghayatan nilai-nilai adiluhung budaya Jawa yang kian langka. Hadir dalam prosesi ini para pemilik pusaka dari kalangan trah, masyarakat umum, komunitas seni budaya, hingga perwakilan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Seperti lazimnya prosesi jamasan, acara diawali dengan pengambilan pusaka dari tempat penyimpanan khusus. Suasana menjadi khidmat ketika pusaka-pusaka itu diarak menuju tempat ritual, diiringi lantunan kidung pamuji yang dibawakan oleh Siswo Pangarso dan tim dari Lembaga Kebudayaan Jawa Sekar Pangawikan. Alunan kidung berpadu dengan iringan prajurit bergada menciptakan nuansa magis yang menggugah batin.
Pusaka-pusaka itu kemudian diserahkan secara simbolis oleh staf ahli Walikota Yogyakarta, Wirawan Haryo Yudho, kepada tim penjamas senior: Sarwono, Suyadi, dan Dalidjan. Dengan penuh ketelitian dan penghormatan, para penjamas memulai tahap mutih—membersihkan bilah keris dari karat dan kotoran menggunakan bahan alami seperti jeruk nipis. Dilanjutkan pengeringan, pengolesan minyak, dan warangan sebagai penanda akhir perawatan. Semua berlangsung dalam suasana hening, seolah tiap langkah merupakan doa dan penghormatan.
“Budaya kita menunjukkan peradaban tinggi. Saat bangsa lain masih hidup di gua-gua, kita telah membangun Borobudur. Jamasan pusaka ini menjadi simbol bahwa kita bangsa besar dengan nilai luhur yang mesti terus dijaga,” ujar Wirawan Haryo Yudho dalam sambutannya.
Sebagaimana tradisi Jawa yang sarat makna simbolik, prosesi jamasan juga dilengkapi sajen: tumpeng, ingkung, sayur-mayur, buah-buahan, jajanan pasar, telur, kelapa, bunga-bungaan, dan dupa. Tumpeng yang menjulang adalah permohonan ridha Tuhan; telur mengingatkan akan asal-usul manusia; buah dan sayur menjadi lambang doa akan kemakmuran.
Ketua Trah, R. Hendro Marwoto, menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari misi pelestarian budaya warisan Sultan HB II. “Kami bersyukur banyak komunitas budaya turut mendukung kegiatan ini,” katanya.
Yang menarik, sejumlah pusaka yang dijamas berasal dari era Majapahit, berusia ratusan tahun. Termasuk di antaranya keris jenis Patrem, keris kecil yang biasa dibawa perempuan; Sombro, keris unik hasil pijitan tangan empu tanpa ditempa; serta Jangkung, keris untuk anak-anak.
Ketua panitia, RM. Timur Prasetyo, menambahkan, “Tahun ini puluhan pusaka dari anggota trah dan masyarakat umum turut dijamas.”
Menurut konseptor kegiatan, Hary Sutrasno, keris dalam budaya Jawa bukan sekadar benda, melainkan identitas dan simbol religiositas. “Keris menyatukan nilai gotong royong, ketelitian, spiritualitas. Bahkan pada tahap akhir, keris ditempelkan pada kayu Tesek dan Gaharu untuk memulihkan ‘kodam’, menggambarkan keyakinan bahwa pusaka memiliki kekuatan non-fisik.”
Prosesi ini juga dihadiri oleh Saki Maeta, mahasiswa asal Universitas Kobe, Jepang.
“Saya sedang meneliti tentang Kejawen untuk disertasi saya. Melihat bagaimana masyarakat Jawa memperlakukan keris hari ini membuat saya merasakan langsung spiritualitas yang hidup dalam budaya ini,” tuturnya.
Prosesi jamasan ini menjadi pengingat bahwa budaya Jawa bukanlah masa lalu yang harus ditinggalkan, tetapi peradaban yang terus tumbuh seiring zaman. Dalam keris yang dibersihkan, dalam kidung yang dilantunkan, dan dalam sajen yang ditata rapi, tertanam harapan agar warisan leluhur tak lekang oleh waktu. [Yuliantoro]
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar