TERAS

Kiai Jejer, Guru Spiritual di Balik Visi Besar Sultan Agung

  • Administrator
  • Jumat, 20 Juni 2025
  • menit membaca
  • 188x baca
Kiai Jejer, Guru Spiritual di Balik Visi Besar Sultan Agung

Kiai Jejer, Guru Spiritual di Balik Visi Besar Sultan Agung

Bantul, jogja-ngangkring.com - Dalam sejarah Mataram Islam, nama Sultan Agung kerap disebut sebagai simbol kejayaan dan kecanggihan peradaban Jawa-Islam. Ia bukan sekadar pemimpin militer atau negarawan ulung, tapi juga sosok yang mengintegrasikan Islam dan tradisi lokal dengan cara yang khas dan visioner. Namun di balik visi besar itu, sejarah mencatat adanya seorang pembimbing ruhani yang jarang disebut secara resmi yaitu Kiai Jejer.

Nama ini mungkin tak muncul dalam kurikulum sejarah nasional, namun hidup dalam ingatan masyarakat, terutama di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Bukan karena gelar atau kekuasaan, tetapi karena perannya sebagai sosok yang membentuk arah batin sang raja—dalam sunyi, dalam laku.

Dalam Bahasa Jawa, jejer secara harfiah berarti duduk bersila atau tetap berada di tempat. Namun dalam konteks Kiai Jejer, kata ini memuat makna simbolik: keteguhan, kestabilan spiritual, dan kewibawaan seorang guru yang mantap dalam pendirian.

Tak banyak yang tahu nama asli Kiai Jejer. Ia lebih dikenal lewat gelar yang diberikan masyarakat. Menurut sejumlah sumber lisan dan naskah lokal, ia hidup pada akhir abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-17, sejaman dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma (memerintah 1613–1645).

Sultan Agung dikenal luas karena keberaniannya menantang VOC di Batavia, tetapi tak kalah penting adalah jejaknya dalam bidang spiritual dan budaya. Ia menciptakan kalender Jawa-Islam, dan membangun kompleks pemakaman raja di Imogiri yang sarat simbolisme religius dan budaya.

Pengaruh Kiai Jejer diyakini menjadi salah satu pendorong di balik langkah-langkah tersebut. Ia bukan pengajar fiqih semata, tapi penuntun dalam laku batin, dalam filsafat kepemimpinan, dan dalam cara beragama yang selaras dengan kearifan lokal. Dalam kebudayaan Jawa, peran guru spiritual seperti ini seringkali bersifat tak terlihat namun menentukan. Ia menjadi semacam “poros diam” yang mengokohkan arah pemikiran seorang pemimpin.

Makam Kiai Jejer terletak di Dusun Jejeran, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Lokasinya tenang dan tidak menonjol secara fisik. Namun justru di situ letak kekuatannya, kesederhanaan yang memancarkan kehadiran spiritual.

Meski tanpa bangunan megah, kompleks makam ini tak pernah benar-benar sepi. Setiap akhir pekan peziarah datang untuk mengirim doa, menenangkan hati, atau sekadar mencari ruang sunyi di tengah kehidupan yang semakin ramai. Nuansa tempat itu terasa seperti refleksi dari pribadi yang dimakamkan di sana yang teduh, dalam, dan tak memaksakan diri untuk dikenal.

Yang diwariskan Kiai Jejer bukanlah sistem pemerintahan atau karya monumental, tapi prinsip: bahwa kepemimpinan sejati tak cukup hanya dengan kecakapan politik, melainkan juga keutuhan jiwa.

Nilai-nilai seperti keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas, penghormatan terhadap tradisi, dan pengendalian diri dalam memimpin, adalah pelajaran yang tak pernah usang. Dalam konteks sosial hari ini, warisan semacam ini justru terasa semakin relevan.

Jejeran bukan sekadar nama dusun. Ia adalah penanda jejak spiritual dalam sejarah Jawa. Bila kamu merasa perlu waktu untuk menyendiri sejenak—menjauh dari ritme kota yang bising—datanglah ke sana. Tak perlu banyak upacara. Duduklah tenang, rasakan angin yang menyapu pelan, dan mungkin kamu akan menemukan sesuatu yang tak bisa ditemukan dalam keramaian: kesadaran tentang makna hidup yang lebih dalam.

“Dalam diamnya, Kiai Jejer bicara. Dalam sunyinya, ia menunjuk jalan.” (Yun)

 

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar