R Ng Yosodipura Pujangga Agung dari Surakarta
Di antara nama-nama besar dalam sejarah sastra Jawa, Raden Ngabehi Yosodipura menjadi salah satu yang paling bersinar. Lahir sekitar tahun 1729, Yosodipura hidup di tengah masa transisi kekuasaan yang kompleks, tepatnya pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono III (1749–1788) dan Pakubuwono IV (1788–1820). Pujangga agung ini adalah sosok sentral dalam perkembangan sastra Jawa klasik pada abad ke-18 hingga awal abad ke-19, terutama di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Di tengah melemahnya kekuatan politik keraton dan meningkatnya pengaruh kolonial, kekuatan budaya dan sastra dapat menjadi alat legitimasi kekuasaan sekaligus sarana mempertahankan identitas Jawa untuk itu keberadaan pujangga seperti Yosodipura sangat penting. Yosodipura bukan hanya piawai dalam menggubah karya sastra, tetapi juga karena pengaruhnya dalam menetapkan standar bahasa Jawa halus di lingkungan keraton, menjaga semangat dan martabat budaya Jawa.
Di antara karyanya yang paling dikenal adalah Serat Rama—sebuah wiracarita yang menggubah kisah Ramayana ke dalam bahasa dan perspektif Jawa. Karya ini bukan sekadar terjemahan, melainkan reinterpretasi budaya yang sarat nilai dan filosofi lokal. Karya lainnya, Serat Bratayuda, menggambarkan bagian penting dari Mahabharata: perang besar Bharatayuda, dengan kedalaman emosi dan ajaran moral yang kuat.
Tak hanya dua karya besar itu, Yosodipura juga menghasilkan berbagai karya macapat dan kidungan yang sarat nilai etika, spiritualitas, dan filosofi hidup. Gaya bahasanya halus, metaforis, dan penuh harmoni—menjadi tolok ukur keindahan sastra Jawa klasik. Penulisan ulang epos-epos besar dalam bahasa Jawa merupakan langkah strategis dalam membangun narasi luhur tentang kepemimpinan, tanggung jawab, dan moralitas.
Meskipun akses langsung masyarakat pada karya-karya Yosodipura kala itu terbatas karena rendahnya tingkat literasi dan keterbatasan manuskrip, nilai-nilainya tetap tersampaikan melalui berbagai saluran budaya. Pertunjukan wayang kulit memainkan peran besar dalam penyebaran cerita-cerita besar seperti Ramayana dan Mahabharata. Para dalang membawakan kisah tersebut dengan bahasa dan gaya tutur yang banyak dipengaruhi karya Yosodipura. Begitu juga dalam pertemuan-pertemuan komunitas dan tradisi lisan, kutipan dan ajaran dari karya-karya Yosodipura tetap hidup dan membentuk kerangka moral masyarakat Jawa.
Makam Raden Ngabehi Yosodipura terletak di Dukuh Ireng, Bendan, Kec. Banyudono, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Meski sederhana, makam ini sarat makna. Pendopo kecil yang berdiri di dekatnya menjadi ruang spiritual bagi peziarah dan pecinta sastra untuk merenung dan mengenang jasa sang pujangga. Suasana tenang dan sakral di tempat ini menghadirkan ruang kontemplasi, sekaligus pengingat akan kejayaan sastra Jawa. Setiap tahun, masyarakat dan pemerintah daerah mengadakan acara budaya dan doa bersama di kompleks makam ini, sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan intelektual yang telah ditinggalkan Yosodipura.
Yosodipura bukan hanya seorang pujangga, melainkan penjaga jiwa Jawa. Di tengah perubahan zaman dan pergolakan politik, ia memilih untuk menanamkan nilai, etika, dan estetika lewat sastra. Hingga kini, karya dan pengaruhnya tetap hidup, menjadi pondasi budaya yang tak lekang oleh waktu. Ketika masyarakat Jawa mendengar lakon Ramayana atau Bharatayuda, atau saat petuah moral dikisahkan dalam tembang-tembang macapat, di sanalah ruh Yosodipura terus bersuara. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar