SENI BUDAYA

“Reka Cipta #2: Lumur Wesi Aji” — Inovasi, Material Bekas, dan Wacana Baru dalam Dunia Perkerisan

  • Administrator
  • Jumat, 30 Mei 2025
  • menit membaca
  • 43x baca
“Reka Cipta #2: Lumur Wesi Aji” — Inovasi, Material Bekas, dan Wacana Baru dalam Dunia Perkerisan

“Reka Cipta #2: Lumur Wesi Aji” — Inovasi, Material Bekas, dan Wacana Baru dalam Dunia Perkerisan

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com — Pameran Reka Cipta #2: Lumur Wesi Aji resmi dibuka pada Kamis sore, 29 Mei 2025 pukul 16.00 WIB di Gedung Graha Budaya, Taman Budaya Embung Giwangan, Yogyakarta. Pameran ini akan berlangsung selama satu pekan, hingga 4 Juni 2025, dan menjadi ajang penting bagi pegiat dan pencinta budaya logam tradisional, terutama keris. Namun, berbeda dari pameran-pameran sebelumnya yang cenderung menampilkan koleksi keris sebagai objek pusaka, Reka Cipta #2 justru menempatkan para empu—seniman sekaligus perajin logam tradisional—sebagai pusat perhatian. Fokus utama bukan pada benda yang telah selesai dan dikurasi, melainkan pada proses kreatif, eksplorasi bentuk, dan gagasan yang dibawa oleh masing-masing empu. Di sinilah letak pembeda utamanya: keris tidak diperlakukan sebagai peninggalan masa lalu yang statis, tetapi sebagai karya seni yang hidup, terus tumbuh, dan terbuka terhadap reinterpretasi.

Sebanyak 29 empu dari berbagai daerah—mulai dari Jawa, Madura, Bali, hingga Lombok—ikut serta dalam pameran ini. Mereka menghadirkan karya-karya yang tak hanya mengusung keindahan teknik tempa, namun juga menggali eksplorasi material serta penciptaan bentuk yang melampaui tradisi. Pameran ini secara khusus menyoroti penggunaan material bekas atau limbah logam sebagai bahan utama penciptaan keris, seperti knalpot, jaring nikel elektroplating, dan serpihan besi tua yang dianggap tidak lagi berguna.

Menurut kurator pameran, Hedi Heriyanto, pameran ini hendak memancing diskursus baru tentang relasi manusia dengan logam dan benda-benda pusaka. “Istilah Lumur Wesi Aji kami angkat dari konsep ‘lumur besi’ atau besi gonor yang dipercaya memiliki tuah untuk menyuburkan tanah. Di sini, kami pakai istilah itu untuk menyentuh isu ekologi—bagaimana logam-logam bekas bisa diolah kembali menjadi objek budaya yang bernilai dan bermakna,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hedi menjelaskan bahwa pameran ini tidak dimaksudkan untuk mengulang kebesaran masa lalu dunia perkerisan, tetapi justru mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru. “Kami tidak sedang memamerkan koleksi, melainkan mengundang para empu untuk berkarya dan menciptakan hal baru. Ini bukan tentang pelestarian pakem semata, tapi tentang regenerasi gagasan,” tambahnya.

Beberapa karya menampilkan pendekatan simbolik dan naratif yang kuat—ada yang mengukir pamor bertuliskan angka-angka tahun penting, ada pula yang membentuk bilah dengan struktur jaring, menyerupai kulit ular atau tekstur tanah retak. Keris-keris ini tidak hanya menjadi artefak, tetapi juga tafsir kontemporer terhadap isu sosial, sejarah, hingga kondisi bumi hari ini.

Pameran ini diprakarsai oleh Lar Gangsir, sebuah komunitas multidisipliner yang terdiri dari alumni ISI Yogyakarta serta para pecinta dan pegiat tosan aji. Didirikan atas semangat kolektif untuk membaca ulang nilai-nilai dalam dunia keris dan budaya logam, Lar Gangsir kini merupakan 'rumah bersama' beragam profesi—seniman, pengajar, peneliti, kurator, hingga pegiat budaya lokal—yang sama-sama memiliki ketertarikan mendalam terhadap wesi aji dalam berbagai bentuknya. Melalui pendekatan lintas bidang dan kerja kolektif, komunitas ini aktif menyelenggarakan pameran, riset, diskusi, serta dokumentasi tentang keris dan artefak logam budaya, dengan semangat keterbukaan terhadap pembacaan baru yang lebih kontekstual dan relevan.

Selain pameran utama, rangkaian Reka Cipta #2 juga diramaikan oleh berbagai agenda yang bersifat edukatif dan partisipatif. Di antaranya adalah Diskusi Publik “Membedah Posisi Keris dan Wesi Aji dalam Konteks Budaya Kontemporer” serta "Lokakarya Tempa dan Melukis Warangka". Hal ini merupakan kesempatan langka untuk melihat langsung bagaimana keris dan wesi aji didekati sebagai praktik seni kontemporer yang tetap berpijak pada akar tradisi, dengan para empu sebagai pencipta sekaligus pembawa wacana baru. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar