Mahasiswa Asing Hadiri Rembug Budaya Pasederekan Trah HB II
Yogyakarta, jogja-ngangkring.com – Suasana hangat dan penuh semangat budaya menyelimuti kegiatan rembug budaya yang digelar Pasederekan Trah Sri Sultan Hamengku Buwono II (HB II), Sabtu (12/7), di Sekretariat Trah HB II, Kampung Pandeyan, Yogyakarta. Mengangkat tema “Kedudukan Keris dalam Budaya Jawa dan Makna Jamasan Pusaka sebagai Upaya Pelestarian Tradisi”, acara ini dihadiri perwakilan pemerintah, komunitas pemerhati budaya, masyarakat umum, serta beberapa mahasiswa asing.
Rembug budaya ini menjadi upaya nyata pelestarian nilai-nilai warisan budaya HB II yang dikenal dalam sejarah sebagai penjaga dan pembela tradisi. “Sri Sultan HB II dikenal memerintahkan pembuatan berbagai bentuk wayang kulit bertema perang. Beliau juga menggubah lakon Jayapusaka dalam pertunjukan wayang orang, dengan tokoh utama Bima memegang keris—simbol kejujuran, ketegasan, dan kewaspadaan. Karakter inilah yang ingin kami hidupkan kembali,” ungkap Hary Sutrasno, konseptor kegiatan.
Hadir sebagai narasumber Fajar Utama, Ketua SNKI (Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia) Korwil Yogyakarta, bersama praktisi keris, Agung Yudianto. Diskusi yang dipandu moderator Tutut Suyadi berlangsung dinamis, terbuka, dan hangat, terlebih dengan partisipasi mahasiswa asing seperti Saki Maeta dari Universitas Kobe, Jepang. Dalam kesan singkatnya, Maeta mengungkapkan kekaguman pada kekayaan budaya Indonesia, khususnya keris yang menurutnya memiliki kedalaman makna tak kalah dengan katana dari Jepang.
Dalam pemaparannya, Fajar menyebut bahwa seorang Jawa sejati idealnya memiliki lima hal: wisma (rumah), garwa (istri), turangga (kendaraan), kukilo (hewan peliharaan), dan curiga (senjata). Dari semua itu, keris menjadi simbol tertinggi karena dibuat oleh empu dalam waktu panjang dengan bahan pilihan dan sarat nilai spiritual serta status sosial.
Sementara itu, Agung Yudianto mengulas lebih dalam tentang ritual jamasan pusaka, termasuk ubo rampe-nya serta prosedur pelaksanaannya. “Pusaka, terutama keris, harus diperlakukan dengan kaidah tertentu. Misalnya, saat membuka keris dari warangkanya harus diangkat menghadap ke atas untuk menghindari bahaya arsenik,” ujarnya. Ia juga menekankan bahwa jamasan bukan sekadar membersihkan fisik pusaka, tetapi juga mempererat hubungan spiritual dengan leluhur dan nilai-nilai kebaikan yang diwariskan.
Kegiatan ini juga dimeriahkan penampilan macapat Asmaradana oleh Siswo Pangarso, serta peragaan delapan gaya mengenakan keris dalam busana Jawa. R. Heru Sumaryo dan RM. Indro Susilo Putro dari Pasederekan HB II memandu penampilan gaya Klabang Pinipit, Nonthe (A), Nyonthe (B), Ngewal, Munyuk Ngilo, Nganggar, hingga Satriyo Keplayu Lele Sinundukan, lengkap dengan penjelasan filosofinya.
Sesi tanya jawab tak kalah menarik. Salah satu peserta, Edi, bertanya mengapa keris kerap disebut sisihan, padahal istilah tersebut biasanya ditujukan untuk istri. Fajar menjelaskan bahwa dalam pandangan orang Jawa, istri adalah sisihan utama karena perannya sebagai ibu dari anak-anak, sementara keris disebut sisihan karena kedudukannya sebagai pelindung diri dan lambang jati diri. Peserta lain, Bambang, meminta tips memilih keris yang baik dan dijawab dengan saran untuk belajar dari guru terpercaya dan memperhatikan sertifikasi SNKI.
Sebagai kelanjutan, Pasederekan HB II akan menggelar Jamasan Pusaka pada Sabtu, 19 Juli 2025 di Aula Kampus ATEKPI, Jalan Gedong Kuning 58 Yogyakarta. Acara ini terbuka bagi masyarakat luas yang memiliki pusaka dan ingin mengikuti prosesi jamasan. “Pendaftaran dibuka hingga Kamis, 17 Juli 2025. Silakan datang langsung ke sekretariat kami di Pandeyan UH 5/811 RT 12 RW 3, Gang Empu Gandring Kidul, Yogyakarta. Kontribusi jamasan per pusaka hanya Rp50.000,” terang R. Hendro Marwoto, Ketua Pasederekan Trah HB II.
Bagi siapa pun yang ingin merawat warisan budaya dan menjaga ikatan spiritual dengan leluhur, acara ini menjadi momen yang tak hanya sakral, tapi juga penuh pembelajaran.
(Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar