SENI BUDAYA

Ki Ageng Pengging Sepuh, Jejak Kepemimpinan di Masa Peralihan Zaman

  • Administrator
  • Jumat, 18 April 2025
  • menit membaca
  • 10x baca
Ki Ageng Pengging Sepuh, Jejak Kepemimpinan di Masa Peralihan Zaman

Ki Ageng Pengging Sepuh: Jejak Kepemimpinan di Masa Peralihan Zaman

Boyolali, jogja-ngangkring.com – Di tengah rerimbunan pepohonan dan semilir angin pedesaan, berdiri sebuah kompleks makam yang menyimpan jejak pemerintahan masa lalu—makam Ki Ageng Pengging Sepuh, atau yang dikenal pula dengan gelar Sri Makurung Prabu Handayaningrat. Beliau bukan hanya pendiri, tetapi juga raja pertama Kerajaan Pengging, sebuah kerajaan agraris yang tumbuh di tengah masa transisi antara keruntuhan Majapahit dan kemunculan Kesultanan Demak.

Sebagai pemimpin di masa yang sarat gejolak politik dan perubahan budaya, Ki Ageng Pengging Sepuh dikenal sebagai figur visioner. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Pengging berkembang menjadi wilayah yang makmur. Letaknya yang strategis dan tanahnya yang subur menjadikan Pengging sebagai lumbung pangan dan pusat pertumbuhan ekonomi. Prabu Handayaningrat memanfaatkan potensi agrikultur ini untuk membangun kekuatan politik yang diperhitungkan di kawasan Jawa Tengah kala itu.

Kebijakan pemerintahan Ki Ageng Pengging Sepuh tampak selaras dengan falsafah kepemimpinan Jawa: adil, membumi, dan berorientasi pada kemakmuran rakyat. Tidak heran bila wilayah ini menjadi salah satu pusat penting dalam narasi pergeseran kekuasaan Nusantara, dari kerajaan Hindu-Buddha menuju era Islam. Banyak sejarawan menduga, kekuatan militer dan ekonomi Pengging menjadi alasan mengapa wilayah ini terlibat dalam percaturan politik besar antara Demak dan Majapahit.

Meski catatan resmi tentang pemerintahannya minim, warisan Ki Ageng Pengging Sepuh hidup dalam ingatan kolektif masyarakat dan tradisi spiritual Jawa. Sebuah versi menyebutkan bahwa beliau adalah Syarif Muhammad Kebungsuan, putra Sayyid Husein Jumadil Kubro—tokoh penyebar Islam terkemuka. Jika benar, maka sosok Ki Ageng Pengging Sepuh menjadi jembatan antara Islam dan budaya lokal yang kental dengan nilai-nilai kebijaksanaan Jawa kuno.

Dalam kompleks makam, berbagai simbol spiritual dan sejarah turut menyertai. Di antaranya arca Durga Mahesa Sura Mardini—dijuluki "Nyai Bendrong" oleh warga setempat—yang menjadi lambang kekuatan dan penjagaan. Ini mencerminkan harmoni antara warisan Hindu-Jawa dan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh Ki Ageng Pengging Sepuh sebagai pemimpin yang mengayomi keberagaman.

Makam ini bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga saksi bisu atas kepemimpinan yang membentuk sejarah lokal. Dengan suasana sejuk, pohon-pohon tua seperti Kamboja, Dewandaru, dan Kepoh—yang bahkan tumbang pada tahun 2021 dan diperingati melalui prasasti—menjadi penanda zaman yang terus bergulir.

Kini, situs makam Ki Ageng Pengging Sepuh menjadi ruang ziarah sekaligus refleksi. Di sinilah jejak pemerintahan bijak dari masa lalu terus menginspirasi dalam keheningan. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar