TERAS

Gus Hilmy: Disabilitas Psikososial Bukan Aib

  • Administrator
  • Selasa, 14 Oktober 2025
  • menit membaca
  • 49x baca
Gus Hilmy: Disabilitas Psikososial Bukan Aib

Gus Hilmy: Disabilitas Psikososial Bukan Aib

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com — Islam menempatkan setiap manusia pada kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Prinsip ini, menurut anggota DPD RI Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. (Gus Hilmy), juga berlaku bagi penyandang disabilitas psikososial yang kerap menghadapi stigma sosial.

Dalam Diskusi Lanjutan Sosialisasi Fiqh Disabilitas Psikososial yang diselenggarakan Komisi Nasional Disabilitas (KND) di Pondok Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta, Senin (13/10/2025), Gus Hilmy menegaskan bahwa setiap keterbatasan adalah bagian dari ujian Allah. Menerima kondisi tersebut, katanya, merupakan bentuk kesabaran yang bernilai ibadah.

“Menerima takdir berarti meyakini bahwa Allah menyiapkan skema yang lebih indah bagi setiap hamba-Nya,” ujarnya.
Ia mengutip Imam Jalaluddin ar-Rumi: sabar adalah melihat duri tapi yang tampak kelopak bunga; melihat malam tapi yang tampak cahaya fajar.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta ini, penyandang disabilitas bukan beban, melainkan manusia dengan hak dan potensi yang sama. Ia menekankan pentingnya perwalian sosial—yakni tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat untuk memastikan hak mereka terpenuhi.

“Negara dan masyarakat wajib hadir, memberi perhatian, bukan menjauhi atau mengisolasi,” tegas anggota Komisi Fatwa MUI Pusat tersebut.

Acara yang digelar dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia 2025 ini diikuti lebih dari 150 peserta lintas lembaga: Kementerian Sosial, PBNU, Lakpesdam NU, LBM NU, P3M, Yakkum, serta perwakilan akademisi dan komunitas disabilitas. Diskusi ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan serupa di Jakarta bulan lalu.

Gus Hilmy mengapresiasi langkah KND dalam mendorong penyusunan Fiqh Disabilitas Psikososial. Menurutnya, upaya ini sejalan dengan semangat Islam yang inklusif dan berpihak pada kemanusiaan.

“Pondok pesantren sejak lama menjadi ruang terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar dan beraktivitas. Teladan almarhum KH Imam Aziz mengingatkan kita untuk terus membersamai mereka dalam kondisi apa pun,” katanya.

Dari pihak KND, Fatimah Asri Mutmainnah menyampaikan bahwa rekomendasi forum ini penting bagi penyusunan fiqh disabilitas di tingkat nasional.

“Harapannya, fiqh ini bisa selesai akhir tahun dan menjadi kado di Hari Disabilitas Internasional, 3 Desember 2025,” ujarnya.

Staf Khusus Menteri Sosial, Ishaq Zubaidi Raqib, yang hadir mewakili Menteri Sosial RI, menyampaikan bahwa fiqh disabilitas merupakan panduan moral dan sosial yang meneguhkan hak setiap warga negara.

“Setiap individu memiliki keterbatasan dan keunikan, namun semuanya berhak menjalankan hak dan kewajiban beragama dengan penuh martabat,” katanya.

Sementara itu, KH Sarmidi Husna, narasumber utama dalam forum tersebut, mengingatkan pentingnya tindak lanjut nyata.

“Aturan dan fiqh sudah ada, tapi fasilitas dan perhatian masih kurang. Ini membutuhkan kerja bersama agar pelaksanaannya efektif,” ujarnya.

Diskusi di Pondok Bumi Cendekia ini menegaskan kembali pandangan bahwa Islam hadir untuk memuliakan manusia, bukan menghakimi keterbatasannya.
Melalui penyusunan fiqh disabilitas psikososial, para peserta berharap ruang keagamaan menjadi lebih inklusif dan adil—sebuah langkah kecil untuk memastikan bahwa setiap insan dapat beribadah dan hidup dengan martabat yang setara. (Tor)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar

Berita Terkait