Islam Rahmatan lil‘Alamin
Refleksi Haul Habib Ali Habsyi
Solo, jogja-ngangkring.com - Setiap Minggu ketiga bulan Rabiul Akhir, Kota Solo menjelma menjadi samudra manusia. Ratusan ribu umat Islam dari berbagai penjuru Indonesia bahkan mancanegara tumpah ruah menuju Masjid Ar-Riyadh Gurawan, Pasar Kliwon. Tak ada undangan resmi, tak ada komando organisasi, semua datang karena panggilan cinta. Cinta kepada Allah, kepada Rasulullah SAW, dan kepada seorang waliyullah yang telah menyalakan lentera kasih di hati umat, Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi, penulis kitab Simtudduror yang menebar cahaya dari Hadramaut hingga Nusantara.
12–13 Oktober 2025 ini adalah Haul ke-114 Habib Ali Al-Habsyi . Sebagai mana penyelenggaraan tahun-tahun lalu (terkecuali saat kebijakan jaga jarak selama pandemi Covid) jalan-jalan sekitar Pasar Kliwon penuh sesak oleh manusia yang duduk bersila, bershalawat, dan meneteskan air mata rindu kepada Rasulullah SAW. Dari para habaib, kiai, santri, pejabat hingga masyarakat umum, semuanya duduk sejajar tanpa sekat. Inilah majelis cinta yang menembus batas sosial dan geografis.
Habib Ali Al-Habsyi lahir dan wafat di Yaman, sekitar 7.000 kilometer dari Solo. Namun jarak tak pernah menjadi batas bagi cahaya ilmu dan kasih sayang. Sejak kecil, Habib Ali dikenal zuhud dan dermawan. Ketika paceklik melanda Hadramaut, ia membagikan makanan untuk seluruh penduduk kota hingga tak seorang pun kelaparan, sementara keluarganya makan seadanya.
Kebesaran Habib Ali bukan semata terletak pada banyaknya hafalan, tapi pada ketulusan amal. Baginya, ilmu harus menjadi jalan menuju empati dan keadilan sosial. Dari kehidupan seperti inilah lahir kitab maulid yang kelak menebar cinta ke seluruh penjuru dunia.
Kitab Simtudduror fi Akhbar Maulid Khairil Basyar “Untaian Mutiara tentang Kelahiran Manusia Terbaik" adalah karya monumental Habib Ali. Ditulis sekitar akhir abad ke-19, kitab ini bukan sekadar teks sastra keagamaan, melainkan karya spiritual yang memadukan pujian, sejarah, dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW.
Bahasanya indah, penuh metafora, dan dibacakan dengan irama khas dalam majelis-majelis maulid di seluruh dunia. Di Indonesia, pembacaan Simtudduror menjadi bagian penting dari haul Habib Ali di Solo. Ratusan ribu jamaah melantunkannya bersama, bait demi bait, menautkan diri pada mata rantai cinta yang tak terputus sejak Rasulullah hingga hari ini.
Bagi para pencinta, Simtudduror bukan hanya bacaan, melainkan latihan spiritual massal. Setiap baitnya mengasah kepekaan batin, menumbuhkan cinta kasih, dan menghidupkan kembali rasa syukur kepada Allah. Ia menegaskan bahwa mencintai Nabi berarti meneladani akhlaknya yang santun, rendah hati, dan peduli sesama.
Salah satu putranya, Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, berlayar ke tanah Jawa dan menetap di Solo. Dari sinilah jejak keilmuan dan spiritualitas Habib Ali berakar di Nusantara. Habib Alwi mendirikan Masjid Ar-Riyadh di Pasar Kliwon, yang kini menjadi pusat kegiatan haul. Putranya, Habib Anis bin Alwi, kemudian melanjutkan perjuangan dakwah, dikenal sebagai ulama kharismatik yang menanamkan nilai kesederhanaan dan cinta Rasul di hati masyarakat Solo. Setiap haul banyak keturunan dan murid Habib Ali hadir dari berbagai negara. Cinta itu menular, menembus batas bangsa dan bahasa.
Haul 2025 menghadirkan banyak ulama antara lain Habib Umar bin Hafidz dari Hadramaut, Habib Taufiq Assegaf, Habib Jindan serta beberapa tokoh nasional seperti Wapres Gibran Rakabuming Raka dan Anies Baswedan. Namun inti haul bukan pada panggung tokoh, melainkan perjumpaan spiritual umat—sebuah ziarah batin yang menyatukan manusia dalam dzikir dan syukur.
Solo memang bukan kota santri dalam pengertian klasik; ia kota budaya dan perdagangan. Tapi justru di kota inilah jutaan pecinta Rasulullah SAW berhimpun setiap tahun. Dari haul Habib Ali, masyarakat belajar bahwa Islam sejati adalah rahmatan lil‘alamin—agama kasih yang menumbuhkan perdamaian, bukan hanya ritual.
Haul juga menghadirkan berkah ekonomi yang nyata. Kawasan Pasar Kliwon menjadi pusat denyut ekonomi dadakan. Hotel-hotel penuh terisi, tarif kamar naik dua hingga tiga kali lipat. Pedagang makanan dan minuman buka 24 jam. Dengan ratusan ribu pengunjung perputaran uang mencapai ratusan miliar. Sektor kuliner, transportasi, penginapan, jasa parkir, hingga cenderamata merasakan dampak langsung.
Dari sini, haul tidak hanya mempererat tali spiritual, tapi juga menggerakkan ekonomi rakyat. Spirit religius dan kesejahteraan sosial berjalan seiring, saling menghidupi.
Lebih dari satu abad sejak wafatnya Habib Ali di Sewon, cahaya cintanya tak pernah padam. Dari Solo, sinar itu terus menembus waktu—menegaskan bahwa kebesaran sejati lahir dari ketulusan, bukan kedudukan. Bahwa ilmu tanpa kasih hanyalah pengetahuan, dan kasih tanpa amal hanyalah perasaan.
Haul Habib Ali Al-Habsyi menjadi bukti bahwa spiritualitas dapat menumbuhkan ekonomi, dan cinta kepada Rasulullah SAW dapat menyatukan bangsa. Dari Yaman ke Solo, dari Simtudduror ke kehidupan sehari-hari, itulah perjalanan panjang cinta yang terus menghidupkan jiwa, menumbuhkan kebaikan, dan menyemai rahmat bagi seluruh alam. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar