TERAS

Asyura, Cahaya di Balik Derai Air Mata

  • Administrator
  • Sabtu, 05 Juli 2025
  • menit membaca
  • 21x baca
Asyura, Cahaya di  Balik Derai Air Mata

Asyura, Cahaya di Balik Derai Air Mata

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com - Muharram tiba. Angin malam yang menyelinap di antara dedaunan seperti mengabarkan bahwa bulan ini bukan sekadar awal tahun baru Hijriah. Ia datang membawa gema sejarah, jejak para nabi, dan luka abadi yang membelah jiwa umat manusia hingga kini. Di puncaknya, 10 Muharram—Hari Asyura—menjadi panggung bagi keagungan, ampunan, sekaligus tragedi.

 

Bagi umat Islam, Asyura bukan sekadar angka dalam kalender. Ia adalah momen perenungan, hari pengharapan, dan lorong waktu yang mengantarkan kita kepada dua pusaran besar dalam sejarah Islam: keselamatan para nabi dan kesyahidan cucu Rasulullah.

 

Keistimewaan Asyura tidak lahir dari satu peristiwa tunggal. Pada hari itulah Allah menerima tobat Nabi Adam AS setelah bertahun-tahun meratap memohon ampun. Pada tanggal yang sama pula, Nabi Musa AS dan Bani Israel diselamatkan dari kezaliman Firaun, menyeberangi Laut Merah dengan mukjizat. Hari itu juga diangkatnya Nabi Idris AS ke langit oleh Allah karena kebaikannya kepada sesama.

 

Bulan Muharram disebut oleh Rasulullah sebagai "Syahrullah"—bulan Allah—satu dari empat bulan haram (suci) yang dijunjung tinggi sejak masa jahiliah. Amal kebaikan dilipatgandakan, sementara pertumpahan darah dilarang keras. Maka berpuasa, berzikir, bersedekah, dan berintrospeksi menjadi amalan utama di dalamnya.

 

Di antara keutamaan bulan Muharram, puasa Asyura menempati posisi istimewa. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa hari Asyura, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim). 

 

Namun, kemuliaan Asyura tak hanya tentang pahala. Ia juga menyimpan luka sejarah yang membekas hingga kini: Tragedi Karbala, 10 Muharram 61 Hijriah. Di tengah padang Karbala yang sunyi, terjadilah tragedi paling kelam dalam sejarah Islam. Sayyidina Husein bin Ali, cucu kesayangan Rasulullah SAW, berdiri di hadapan ribuan pasukan yang mengepungnya. Ia tak hanya membawa keturunan Nabi, tetapi juga suara keadilan dan kehormatan yang hendak dibungkam oleh kekuasaan.

“Lihatlah nasabku. Bukankah aku ini putra Fatimah binti Rasulullah? Bukankah aku cucu dari Nabimu? Bukankah Hamzah, pemuka para syuhada, pamanku? Bukankah Rasulullah bersabda bahwa aku dan saudaraku Hasan adalah pemuka pemuda surga?” seru Husein dalam pidatonya yang dicatat dalam Tarikh al-Tabari dan Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibn Katsir.

Namun kebutaan hati telah menutup telinga pasukan Yazid bin Muawiyah. Ubaidillah bin Ziyad, gubernur Kufah, menginstruksikan pengepungan dan pembantaian atas Husein dan para pengikutnya.

 

Ibn Katsir menulis bahwa Husein yang terluka parah masih berusaha menuju sungai karena kehausan. Namun, sebelum sempat meneguk air, ia dikepung dari segala penjuru. Tubuhnya dipanahi, ditombak, dan akhirnya dipenggal oleh Sinan bin Anas. Kepalanya diserahkan kepada Khawali bin Yazid dan dibawa ke hadapan Ubaidillah, yang kemudian dengan angkuhnya menyentuh mulut Husein dengan ujung tongkatnya.

Anas bin Malik—sahabat Nabi—menyaksikan kejadian itu dan menangis: “Demi Allah, aku melihat Rasulullah mencium tempat yang  kau tusuk-tusuk itu!”

 

Imam Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa mencatat bahwa pada hari kematian Husein, matahari tertutup seperti gerhana, langit memerah selama berbulan-bulan, dan dunia seakan terdiam dalam duka. Ummu Salamah, istri Rasulullah, bahkan bermimpi melihat suaminya dengan rambut dan janggut penuh debu, seraya berkata, “Aku baru saja menyaksikan pembunuhan Husein.”

Sebanyak 72 pengikut setia Husein gugur di Karbala. Di hadapan 4.000 pasukan, mereka tetap teguh membela kebenaran. Asyura pun menjadi simbol dari keberanian melawan kezaliman, cinta kepada kebenaran, dan pengorbanan atas nama prinsip ilahi.

 

Tragedi Karbala mengajarkan bahwa kekuasaan yang dipaksakan tanpa keadilan akan menciptakan kehancuran. Sayyidina Husein menolak membaiat Yazid bukan karena ambisi politik, tapi karena mempertahankan marwah Islam yang luhur.

Dalam konteks hari ini, Asyura seharusnya membangkitkan kesadaran kolektif kita untuk menjunjung nilai-nilai kejujuran, kepedulian, dan keberanian moral. Bahwa sejarah darah Karbala bukan untuk menghidupkan dendam, melainkan membangun kesadaran spiritual tentang pentingnya membela kebenaran meskipun sendirian.

 

Seperti ditulis oleh Prof. Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI NU Australia-New Zealand, kisah ini bukan hanya milik Syiah atau Sunni. Ini adalah warisan kemanusiaan Islam yang universal. Bahwa bahkan dalam rumah tangga Rasulullah pun, pertumpahan darah bisa terjadi karena kekuasaan. Maka siapa pun yang menyerukan kembali bentuk kekhilafahan, wajib belajar dari luka Karbala.

 

Bulan Muharram, terutama hari Asyura, mengajak kita menunduk dalam hening, mengoreksi diri, dan merasakan denyut sejarah yang tak boleh dilupakan. Ia adalah hari di mana air mata Nabi bercampur dengan debu Karbala. Hari di mana doa para nabi naik ke langit, dan darah kesucian tumpah di bumi.

Asyura bukan hanya tanggal. Ia adalah pelita dalam gelap, pengingat dalam lupa, dan cahaya yang lahir dari luka.

Al-Fatihah untuk Sayyidina Husein dan seluruh syuhada Karbala. (Yuliantoro)

 

Referensi dan Catatan Tambahan:

HR. Muslim: Hadits keutamaan puasa Asyura

Tarikh at-Thabari (Jilid 5/425)

Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (Jilid 8/193, 204)

Tarikh al-Khulafa karya Imam Suyuthi

Makalah Prof. Nadirsyah Hosen, PCINU Australia-New Zealand.

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar