Keadilan Tak Harus Membentak, Jejak Jaksa Agus Wirawan
Gianyar, jogja-ngangkring.com - Tak banyak jaksa yang dikenal warga desa hingga ke pelosok banjar. Tapi di Gianyar, Bali, nama Agus Wirawan Eko Saputro kerap disebut. Ia dikenal karena perkara yang diselesaikan tanpa gaduh dan sikap yang lebih sering merangkul ketimbang menggertak. Darah Yogya yang mengalir dalam dirinya membentuk karakter tenang, tapi teguh. Dalam dua tahun terakhir memimpin Kejaksaan Negeri Gianyar, Agus membuktikan bahwa hukum bisa ditegakkan tanpa kehilangan sisi kemanusiaan—dan keadilan bisa didekatkan ke rakyat tanpa harus menakut-nakuti mereka.
“Kalau hukum hanya ditakuti, orang akan patuh karena takutbbukan karena sadar,” katanya dalam satu percakapan, sambil menunjuk setumpuk laporan perkara yang baru saja selesai dimediasi di Bale Kertha Adhyaksa.
Lahir dan besar di Yogyakarta, Agus menempuh jalur pendidikan yang relatif konvensional: SDN Serayu I, SMP Muhammadiyah I, lalu SMA Negeri 8 Yogyakarta. Ia melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dan menyelesaikan program magister di Universitas Medan Area dan kini tengah menempuh studi doktoral di Universitas Udayana, Bali.
Agus masuk ke kejaksaan sebagai jaksa fungsional dan meniti jalur dari bawah: Kejari Medan, Balikpapan, Balige, Gorontalo, hingga Halmahera Utara. Di Kejaksaan Agung, ia pernah masuk dalam Satgas Tindak Pidana Korupsi (TPK) Jampidsus—tugas berat yang menuntut keberanian dan integritas.
“Sudah biasa pindah-pindah. Tapi di setiap tempat, prinsipnya tetap: kerja sungguh-sungguh, jangan main-main,” katanya.
Di Gianyar, Agus memperkuat program Bale Kertha Adhyaksa, sebuah model penyelesaian perkara berbasis mediasi adat. Gagasan ini awalnya muncul dari Kepala Kejati Bali, lalu dieksekusi dan dikembangkan Kejari Gianyar di bawah kepemimpinan Agus.
Program ini menjadi ruang kompromi bagi perkara ringan: pertengkaran tetangga, perusakan ringan, atau pencemaran nama baik yang bisa dipulihkan secara damai. Pendekatannya tak hanya legal, tapi juga kultural.
“Bali punya modal sosial yang kuat: adat dan musyawarah. Itu yang kami pakai,” kata Agus.
Tak semua perkara harus naik ke pengadilan. Dengan keadilan restoratif, Kejari Gianyar menyelesaikan sejumlah kasus tanpa vonis, tapi tetap memberi rasa keadilan bagi korban maupun pelaku. Beberapa kasus bahkan diselesaikan hanya dalam hitungan hari, menghemat biaya dan energi semua pihak.
Selain perkara pidana, Kejari Gianyar di bawah Agus aktif dalam isu-isu yang tak lazim ditangani jaksa: penyuluhan hukum ke sekolah-sekolah, pendampingan BPJS, pengawasan dana desa, hingga pencegahan stunting dan kemiskinan ekstrem.
Program “Jaksa Masuk Sekolah” digiatkan lagi. Para siswa SMA dan SMP diajak mengenal hukum lewat diskusi santai. Di sisi lain, jaksa-jaksa fungsional dikerahkan mendampingi pemerintah desa dalam penyusunan dan realisasi anggaran.
“Jaksa itu tak harus selalu di ruang sidang. Kita juga harus hadir di sawah, di sekolah, di balai desa,” ujarnya.
Agus juga menaruh perhatian pada perkara perdata dan tata usaha negara. Salah satu capaian pentingnya adalah pemulihan aset dan keuangan daerah melalui mekanisme bantuan hukum. Angka pemulihan yang dicatat tak kecil—berkisar miliaran rupiah dari kasus hibah dan sengketa aset pemerintah.
Nama Agus mulai mencuat saat ia menjabat sebagai Kepala Kejari Halmahera Utara. Di sana, ia menangani serangkaian kasus korupsi, mulai dari dana hibah, manipulasi keuangan negara, hingga penyimpangan dana desa. Sejumlah kepala desa dan pejabat daerah ditetapkan sebagai tersangka, dan uang negara pun berhasil diselamatkan.
Kejari Halmahera Utara di masanya meraih peringkat dua nasional untuk bidang Perdata dan TUN, serta peringkat tiga untuk bidang Intelijen dan Pembinaan. Ia sempat menerima penghargaan dari Kejati Maluku Utara. Meski begitu, Agus tak pernah menyebut capaian itu sebagai miliknya pribadi.
“Saya bukan Superman. Yang hebat itu tim. Banyak jaksa dan staf fungsional yang kerja diam-diam, tapi hasilnya nyata,” katanya.
Dalam kariernya, Agus mengaku terinspirasi oleh Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung yang dikenal jujur dan keras kepala melawan korupsi. Tapi inspirasi tak hanya datang dari tokoh besar. Ia menyebut banyak belajar dari atasan, rekan sejawat, bahkan staf TU dan tenaga kontrak yang bekerja dengan disiplin dan keikhlasan.
Prinsip yang ia pegang pun sederhana: kerja dengan hati, jaga integritas, jangan sombong, dan tetap belajar.
“Dari Yogyakarta saya belajar rendah hati. Dari hukum saya belajar tanggung jawab. Dan dari masyarakat saya belajar rasa keadilan,” ujarnya.
Baginya, menjadi jaksa bukan soal kuasa atau jabatan. Ini soal kepercayaan publik yang harus dijaga—dengan kerja nyata, bukan dengan retorika.
“Menjadi jaksa bukan sekadar profesi. Ini pengabdian,” tutupnya. (Tor)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar