TERAS

Satmoko Budi Santoso: Menulis sebagai Panggilan Hidup

  • Administrator
  • Jumat, 29 November 2024
  • menit membaca
  • 48x baca
Satmoko Budi Santoso: Menulis sebagai Panggilan Hidup

Satmoko Budi Santoso: Menulis sebagai Panggilan Hidup

​​​​​Yogyakarta, jogja-ngangkring.com - Bagi Satmoko Budi Santoso, menulis bukan hanya sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa yang ia tekuni sepanjang hidupnya. Pria yang akrab disapa Moko ini baru saja menerima Anugerah Kebudayaan 2024 dari Pemerintah Daerah DIY sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya di dunia sastra. Ia termasuk salah satu dari 28 individu dan komunitas penggiat budaya yang menerima penghargaan tersebut. Anugerah itu diserahkan langsung oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada Kamis (28/11) di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta.

“Penghargaan Upakarya Budaya adalah bukti perhatian pemerintah kepada sastrawan dan budayawan. Saya sangat senang karena kerja kreatif kami dihargai. Penghargaan seperti ini perlu dijadikan tradisi untuk membangun ekosistem kebudayaan yang baik,” ungkap Moko, begitu pria itu akrab dipanggil, usai menerima penghargaan.

Moko lahir di Kulon Progo pada 17 Januari 1976 dan menghabiskan masa kecilnya di Wates, Kulonprogo. Alumnus SMA Negeri 2 Wates ini kemudian melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan jurusan teater. Namun ternyata  Moko  lebih terpikat pada dunia kepenulisan dibanding panggung seni.

Kecintaannya pada menulis sudah tumbuh sejak dini. Dari opini, cerpen, cerbung, puisi, hingga resensi buku, Moko telah melahirkan berbagai karya yang mengisi halaman media massa terkemuka, seperti Kompas, The Jakarta Post, Horison, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, hingga Suara Merdeka. Karya-karya ini membuktikan konsistensinya sebagai seorang penulis produktif yang mampu menembus berbagai platform.

Tak hanya di dalam negeri, karya-karya Moko juga mendapat pengakuan di tingkat internasional. Beberapa tulisannya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lontar Foundation Jakarta, bahkan hingga ke bahasa Slovenia. Sebagian karya Moko juga digunakan sebagai bahan ajar Bahasa Indonesia di Universitas Meijo, Jepang, oleh Akiko Iwata, seorang dosen di sana.

Pada 2021, Moko diundang sebagai dosen tamu di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) dan turut berpartisipasi dalam Ubud Writers and Readers Festival di Bali, sebuah ajang sastra internasional yang bergengsi.

Sepanjang kariernya, Moko telah melahirkan beragam buku, termasuk kumpulan cerpen seperti Jangan Membunuh di Hari Sabtu (2003), Perempuan Bersampan Cadik (2004), Rahim Titipan (2006), hingga Uang yang Terselip di Peci (2022). Ia juga menulis beberapa novel, di antaranya Liem Hwa (2005), Kasongan (2012), dan Jilbab Funky (2012). Buku esainya yang berjudul Ritual Karnaval Sastra Indonesia Mutakhir (2020) menjadi salah satu refleksi mendalam tentang perkembangan dunia sastra Indonesia. Terbaru, jelang Pemilu 2024, Moko merilis novel Kutukan Rahim. Novel ke-11 ini sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Koran Minggu Pagi pada 2015.

Bagi Moko, menulis adalah cara untuk menuangkan gagasan yang mengendap di benaknya menjadi karya yang bisa dinikmati banyak orang. “Bahagia rasanya saat karya diterima pembaca. Selain itu, saya bisa memperluas jaringan dan mendapatkan penghasilan,” ujar Moko.

Namun, perjalanan sebagai penulis tak selalu mudah. “Dukanya adalah saat buku sulit terjual dan karya kurang diapresiasi,” ungkapnya. Meski begitu, semangatnya untuk terus berkarya tak pernah padam. Bagi pria yang tinggal di Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul ini, menulis adalah panggilan hidup yang dijalani dengan sepenuh hati. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar