"Sarinah Bangkit: Membaca Ulang Gagasan Revolusioner Bung Karno soal Perempuan"
Sleman, jogja-ngangkring.com – Gagasan revolusioner Bung Karno tentang perempuan kembali menggema di lereng Merapi. Kemarin, Ruang Literasi Kaliurang menggelar diskusi bertajuk “Sarinah: Narasi Perempuan dalam Pembangunan Bangsa”, sebagai bagian dari rangkaian "Satu Pekan Bersama Bung Besar". Acara ini menjadi upaya membangkitkan kembali pemikiran Sukarno yang progresif dan kerap dilupakan dalam dinamika pembangunan bangsa hari ini.
"Pemikiran Bung Karno tentang perempuan sangat visioner dan mendahului zamannya. Sarinah adalah satu-satunya buku emansipasi perempuan di Asia yang ditulis langsung oleh kepala negara,” ujar Fanda Puspitasari, pengurus DPP GMNI, salah satu pembicara dalam diskusi. Menurutnya, Sarinah bukan hanya soal perempuan, tapi juga perjuangan kelas dan keadilan sosial yang terhubung langsung dengan agenda revolusi nasional.
Turut hadir dalam diskusi, akademisi Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono. Ia menyampaikan bahwa meskipun pemikiran Sukarno patut diapresiasi, praktiknya tidak lepas dari problematika relasi kuasa. “Kita harus adil melihat sejarah. Pemikiran Bung Karno sangat maju, tapi dalam praktiknya tetap ada hal-hal yang patut dikritisi secara obyektif,” ungkapnya dalam forum yang dipandu Wasingatu Zakiyah sebagai moderator.
Diskusi ini merupakan bagian dari gerakan literasi dan kebangsaan yang digagas Ruang Literasi Kaliurang bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yayasan Bumi Pancasila, dan Yayasan Bung Karno. Deputi Hubungan Antar Lembaga Sosialisasi dan Komunikasi BPIP, Ir. Prakoso, MM dalam sambutannya menyatakan bahwa kegiatan ini bukan sekadar seremoni. “Ini bagian dari gerakan merawat ingatan kolektif. Kita jaga keteladanan pemikiran para pendiri bangsa melalui ruang literasi,” katanya. Sementara itu, Kepala BPIP Prof. Drs. KH. Yudian Wahyudi, MA., Ph.D menekankan pentingnya memahami sejarah kemerdekaan secara utuh. “Indonesia adalah satu-satunya negara yang diproklamasikan oleh kaum sipil di tengah perang dunia. Itu menunjukkan peradaban yang besar. Karena itu, menggali pemikiran tokoh bangsa seperti Bung Karno adalah keharusan sejarah.”
Diskusi ini tidak hanya menjadi ruang intelektual, tetapi juga panggilan untuk membumikan kembali semangat emansipasi yang berpihak pada rakyat. Di tangan Bung Karno, sosok perempuan seperti Sarinah—yang hanya seorang pengasuh rumah tangga—bisa berdiri sejajar dengan tokoh besar dunia. Bagi Bung Karno, Sarinah adalah guru kemanusiaan. Kini, 80 tahun setelah buku itu ditulis, suara Sarinah kembali dipanggil. Bukan hanya sebagai teks sejarah, tetapi sebagai narasi perlawanan dan harapan. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar