SENI BUDAYA

Ferry Gabriel, dari Pertentangan ke Pengakuan

  • Administrator
  • Rabu, 27 Agustus 2025
  • menit membaca
  • 9x baca
Ferry Gabriel, dari Pertentangan ke Pengakuan

Ferry Gabriel, dari Pertentangan ke Pengakuan

YOGYAKARTA, jogja-ngangkring.com — “Bagi saya, kemerdekaan tertinggi adalah bisa hidup sebagai diri sendiri—tanpa topeng, tanpa arah yang dipaksakan.”

Kalimat itu meluncur pelan dari Ferry Gabriel Wawasima, perupa yang pada pertengahan Agustus ini menggelar pameran bertajuk Kamardikaan Rosopitu #2 di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta. Di ruang pamer itu, warna-warna berlapis pada kanvas menyala di bawah cahaya lampu. Fragmen-fragmen simbolik terasa seperti serpihan cerita yang lama ia simpan, kini terhampar untuk dibaca publik.

Bagi Ferry, pameran ini bukan sekadar perhelatan seni. Ia adalah proklamasi pribadi, sebuah jalan panjang yang akhirnya sampai pada pengakuan. Lahir di Semarang pada Oktober 1977, Ferry tumbuh dalam keluarga Kristen yang disiplin. Sebagai anak sulung, ia diarahkan untuk mengikuti jejak ayahnya di dunia teknik dan konstruksi. Namun, sejak kecil, minatnya justru condong ke dunia lain: membaca, menulis, menggambar.

Ketegangan muncul. Minat yang tak sejalan dengan rencana keluarga membuatnya sering dianggap pembangkang. “Saya tahu mereka khawatir pada masa depan saya,” ujarnya.

Demi menghindari konflik, Ferry bertahun-tahun menyembunyikan karya-karya dan caranya bertahan hidup dari seni. Kebohongan-kebohongan kecil menjadi selimut yang menutupi jalan yang ia pilih. Suatu hari ibunya diam-diam mengumpulkan karya Ferry dan memajangnya di rumah. Lukisan-lukisan itu menjadi pengganti kehadiran anak sulung yang kerap “menghilang”. Ayah tetap tegar pada pendirian, tetapi jarak itu mulai terurai perlahan. Dan puncaknya terjadi di pameran ini, ketika seluruh keluarga hadir—bukan sekadar sebagai tamu undangan, tetapi sebagai saksi perjalanan yang dulu penuh pertentangan. “Restu keluarga ini menghapus jarak yang pernah ada,” kata Ferry.

Perjalanan Ferry dalam dunia seni rupa Yogyakarta bukan baru kali ini. Ia aktif sejak akhir 1990-an, tampil dalam pameran Bursa Seni di Benteng Vredeburg (1998) dan Jero Benteng di Pasar Ngasem (1999). Keterlibatannya berlanjut dalam pameran di Societet Militair dan Taman Budaya Yogyakarta (2001–2002), Melukis Bersama di Makam Seniman Imogiri (2003), Art for Aceh di TBY (2004), hingga Homage dalam Tujuh Bintang Art Award di Tubi Gallery (2010). Ia juga menjejak panggung internasional lewat pameran The Dream (2012) di Amas Painting Bali dan Stories On The Wall di South Wales, Australia.

Selain melukis, Ferry aktif dalam performance art. Pada 2009 ia berkolaborasi dengan Tri Suharyanto dalam karya Surat Buat Bapak di Kantor Pos Yogyakarta. Baginya, seni rupa bukan sekadar ekspresi visual, melainkan terapi jiwa untuk kembali beradab. “Jiwa yang sehat tumbuh dari ruang hening, dari keberanian untuk berkaca dan berdamai,” ucapnya.

Dalam performance art-nya Ferry berdiri di tengah ruang dengan kepala tertutup plastik dan tangan terbelenggu tali. Simbol visual itu adalah pernyataan paling jujur tentang “kamardikaan pribadi”. “Selama ini saya sembunyi-sembunyi, hanya demi membahagiakan kedua orang tua,” tuturnya. “Kini saya berhenti dari semua pekerjaan lain dan memilih hidup sepenuhnya sebagai seniman.”

Simbol rumah yang kerap hadir dalam karyanya memuat makna mendalam. Rumah ia pahami sebagai pangkuan ibu, tempat penerimaan tanpa syarat. Sementara akar adalah representasi ayah, figur kuat yang menegakkan keluarga. Sejak 1998, rumah menjadi motif utama dalam karyanya—kerinduan untuk diterima kembali lewat jalannya sebagai perupa

Setelah lebih dari tiga dekade menempuh jalan berliku, ia kini berdiri tegak. Seorang perupa yang diakui keluarga dan masyarakat seni. “Kamardikan yang saya terima saat ini adalah pengakuan dan restu atas pilihan hidup saya, sekaligus kembali dipeluk sebagai bagian dari keluarga,” katanya.

Pesan moral yang ia bawa sederhana namun kuat, kemerdekaan sejati bukan hanya kebebasan memilih jalan hidup, tetapi juga keberanian mempertahankannya hingga diakui orang-orang terdekat. Bagi Ferry Gabriel, Kamardikaan Rosopitu bukan sekadar pameran. Ia adalah proklamasi hidup. (Tor)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar