SENI BUDAYA

Mendengar Bisikan Alam Lewat Sapuan Kuas BJ Arifin

  • Administrator
  • Rabu, 20 Agustus 2025
  • menit membaca
  • 87x baca
Mendengar Bisikan Alam Lewat Sapuan Kuas BJ Arifin

Mendengar Bisikan Semesta Lewat Sapuan Kuas BJ Arifin

Bantul  — Bagi BJ Arifin, kanvas bukan  sekadar bidang kosong yang menunggu goresan. Ia adalah ruang percakapan, jembatan rahasia antara dirinya dan semesta. Arifin percaya bahwa alam raya selalu menyampaikan suara—kadang lirih, kadang getir—dan seorang perupa ditakdirkan untuk mendengar lalu menerjemahkannya.

“Seni adalah bahasa alam yang tak terucap. Jika manusia berhenti mendengar, maka biarlah aku berbicara melalui warna, garis, dan rupa,” ujarnya di kediamannya di Salakan, Bangunjiwo, Bantul.

Keyakinan itu ia bawa ke panggung pameran Kamardikan Roso Pitu #2 di Hotel Melia Purosani, Yogyakarta. Bersama enam perupa lainnya, Arifin menghadirkan 14 karyan dengan berbagai judul diantaranya adalah Rumah Susun, Garuda, Matahari Terbit dari Timur, Cross Junction, Arwana, hingga Matahari.

Lukisan-lukisan Arifin tak berhenti pada parade warna yang indah. Ia menjadikan alam sebagai simfoni kehidupan, dimana langit, laut, hutan, dan satwa berkelindan dalam harmoni. Namun di balik keindahan itu selalu terselip gurat luka. Polusi, deforestasi, kepunahan, hingga kerakusan manusia hadir sebagai nada sumbang yang merobek keseimbangan. Warna cerah dalam karyanya kerap dipotong goresan gelap sebagai simbol retakan keseimbangan yang terancam.

“Saya tak ingin hanya menghadirkan keindahan visual, setiap sapuan kuas adalah peringatan, lembut tapi tegas.”

Karya-karyanya seolah mengajak penikmat berhenti sejenak, menatap lebih dalam: bahwa manusia bukan penguasa alam, melainkan bagian dari semesta.

Arifin lahir di Genteng, Banyuwangi, tahun 1965—meski di kartu identitas tercatat 1 Oktober 1967. Dari delapan bersaudara, hanya ia yang memilih jalan seni. Bakatnya telah tampak sejak kecil. Ia masih ingat salah satu lukisannya di bangku SD terjual Rp5.000, jumlah besar untuk awal 1980-an. Tahun 1985, dengan bekal Rp5.000, ia nekat menumpang bus ke Yogyakarta dan diterima di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa). Sambil belajar, ia membuat batik lukis yang dijual ke Batik Kelik, Karangkajen, Yogyakarta. 

Lulus pada 1989, ia tak melanjutkan kuliah. Pasar batik lukis kala itu sedang menanjak. Karyanya menembus Belanda, Amerika, hingga Kanada lewat jalur fair trade. Tahun 2000 ia berkesempatan berpameran di Belanda. Lukisannya yang didominasi merah dianggap menghadirkan energi hangat bahkan digunakan untuk terapi. Tahun 2017 ia menggelar pameran tunggal di Perancis dengan karya hitam-putih. Sejak itu, karyanya menembus Eropa, Amerika, Asia, hingga Australia.

“Banyak orang asing menyukai karya saya karena saya mempelajari budaya dan musim mereka. Di Eropa yang dingin, saya ciptakan lukisan hangat. Saat musim panas, saya buat karya dengan warna lebih lembut,” tuturnya.

Sejak 1995, Arifin membangun mimpi di atas tanah 1.500 meter persegi di Pedukuhan Salakan, Bangunjiwo. Rumah itu rampung pada 2000. Halamannya rimbun dengan jati, mahoni, hingga duwet. Di dalamnya berdiri ruang pamer 7 x 14 meter yang sanggup menampung 60 karya. Di balik lukisan, batik adalah napas hidupnya. Ia tekun menjalani proses dari mencuci kain, mencelup, hingga merendamnya dalam water glass agar warna tak luntur.

“Basic saya memang batik,” katanya. “Tapi mengembangkan batik tak mudah. Di Jogja ini justru batik sedang mundur.”

Batik lukis Arifin berciri garis hitam tegas dan warna kuat. Harga karyanya bisa menembus Rp15 juta untuk ukuran 2 x 0,9 meter. Salah satu karya monumental adalah Gotong Royong (3 x 5 meter, akrilik), yang rampung dalam lima tahun. Terbaru, ia melahirkan Dialog (150 x 90 cm, 2025).

Nama BJ Arifin menyimpan kisah. “BJ” adalah singkatan Bangun Jiwa, pemberian sahabatnya, penyair Sitok Srengenge. Sedangkan “Ripen”, nama pemberian orang tuanya, berarti mematangkan. Namun di ijazah sekolah ia menulis “Arifin”—nama yang akhirnya melekat.

Dalam berkarya, ia kerap memulai dari warna hitam, bertolak belakang dengan tradisi batik yang lazim dimulai dari putih.

“Bagi saya, hitam adalah ruang awal. Dari sana cahaya tumbuh,” ujarnya.

Filosofi itu membentuk corak khas batiknya yaitu perpaduan simbol dan abstraksi, namun tetap menyisakan bentuk nyata.

Kini, di usia yang melewati separuh abad, Arifin tetap setia mendengar bisikan semesta. Setiap goresan kuas dan garis batiknya menjadi pengingat: manusia tak boleh tercerabut dari alam.

“Bisikan alam itu tak selalu manis. Ada kegelisahan yang mengalun di balik harmoni.”

Di setiap pameran, karyanya seolah berbisik kepada pengunjung—bukan hanya mengajak melihat, tetapi juga merasakan. Seakan suara semesta berpindah dari alam, ke dirinya, lalu mengalir lewat kanvas menuju jiwa-jiwa yang datang. (Tor)

Tags: BJ Arifin

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar