Seni, Luka, dan Pemulihan Diri
Yogyakarta, jogja-ngangkring.com - Di ruang pamer Hotel Melia Purosani, Yogyakarta, sebuah kanvas berjudul Free to the 9th Light Portals berhasil mencuri perhatian. Warna-warnanya berlapis, simbol-simbolnya seperti potongan mimpi yang tersisa dari perjalanan panjang batin. Seorang pengunjung berdiri lama di depannya, tampak berpikir, lalu tersenyum tipis—seolah menemukan kembali kenangan yang pernah hilang.
Karya itu milik Raden Hanung Satriyo Wibowo (Hanung), yang menggantungkan sebagian kisah hidupnya di sana.
“Berkesenian bagi saya adalah proses eksistensial, berakar pada pengalaman hidup yang kompleks, penuh tekanan, dan sering kali dibayangi ekspektasi sosial,” ujarnya.
Lahir di Yogyakarta pada 25 Mei 1977 dari keluarga bangsawan Jawa, Hanung tumbuh dalam aturan yang ketat. Ketertarikannya pada seni rupa muncul alami, tetapi tak pernah mendapat ruang bebas. Coretan di dinding atau di kertas dianggap kenakalan. Dalam lingkungannya kala itu, seni bukan jalan hidup yang layak. Justru dari penyangkalan itu, seni hadir sebagai cara bertahan. Awalnya menjadi pelarian, lalu perlahan berubah menjadi perjalanan spiritual. Setiap kali melukis, ia menapak kembali jejak masa lalu, mengolah luka menjadi bahasa visual.
“Seni adalah ruang netral, bebas dari penghakiman. Tempat paling jujur untuk berdialog dengan diri sendiri,” katanya.
Bagi Hanung seni bukan sekadar estetika, melainkan rekaman perasaan, pikiran, kegelisahan, dan harapan. Simbol-simbol dalam karyanya lahir dari pertemuan antara pengalaman pribadi dan realitas sosial. Ia ingin karya-karyanya menjadi penghubung antara perasaan personal dan kesadaran kolektif.
“Karya ini undangan untuk melihat lebih dekat, merasakan lebih dalam, dan menyadari bahwa di tengah gelapnya luka, selalu ada kemungkinan cahaya tumbuh.”
Gagasan itu ia bawa ke Pameran Seni Rupa Kamardikan Roso Pitu #2 yang berlangsung 9 Agustus–9 September 2025. Bersama tujuh perupa lain, ia menampilkan empat karya: Free to the 9th Light Portals, Kembulan, Suguhku Cah Ayu, dan Amukti Palapa. Baginya, pameran ini bukan sekadar ajang apresiasi, tetapi ruang untuk berbagi narasi personal yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran bersama.
“Karya ini tidak berdiri untuk dikagumi, tetapi untuk dipahami,” ujarnya.
Perjalanan Hanung berkesenian tak sebatas di Yogyakarta. Pada 2005–2006, ia berpameran di atas kapal MS Rotterdam yang saat itu tengah berlayar di Laut Mediterania. Hanung juga ikut menggambar di Biennale 2005 “San Marco Day” di Venesia. Tahun 2012, ia berkarya di Paris, sebelumnya ia juga pernah ikut pameran di Seattle Art Museum (2010–2011) sebagai penghormatan untuk Pablo Picasso. Setelah kembali ke tanah air, pada 2016, ia juga menggagas pameran seni rupa, media rekam, dan pertunjukan di pembukaan Pendopo Artspace milik seniman Dunadi. Juga terlibat pameran di Hyatt Regency Yogyakarta (2017)
Di setiap pameran Hanung selalu membawa benang merah yang sama, baginya seni adalah perjalanan pulang ke diri sendiri.
“Berkarya adalah keberanian untuk tetap mencipta dalam diam, dan keteguhan untuk menemukan makna dalam setiap goresan—betapapun sederhana dan tak diakui pada mulanya,” tutupnya. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar