Pameran Seni Rupa Wawasima Art “Kamardikan Rosopitu”
YOGYAKARTA — Sabtu malam, 9 Agustus 2025, lampu-lampu di ruang pamer Hotel Melia Purosani, Jalan Mayor Suryotomo, Yogyakarta, berpendar hangat. Di antara aroma kopi dan denting musik pembuka, tujuh seniman berdiri berdampingan. Mereka bukan sekadar memamerkan karya, tetapi mengundang publik memasuki ruang batin yang mereka sebut Kamardikan Rosopitu — tujuh rasa merdeka yang lahir dari perenungan panjang.
Pameran ini dibuka resmi oleh Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo. Rangkaian karyanya dapat dinikmati hingga 9 September 2025, bertepatan dengan momentum peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80.
Tujuh perupa dari kelompok Wawasima Art — BJ Arifin, Tri Suharyanto, RH Satrio Wibowo, Lio Gusca Vianos, Tri Sasongko, Ferry Gabriel, dan Tukirno Bronto Sutejo — menghadirkan 41 karya lukis yang melintasi batas genre. Dari sapuan cat akrilik yang emosional hingga permainan tekstur yang memancing raba, semua diarahkan pada satu gagasan: kemerdekaan yang utuh, lahir dari tubuh dan jiwa.
Penulis pameran, Vi Yanti SBL, dalam kuratorialnya menegaskan bahwa “Kamardikan Rosopitu” bukan sekadar judul pameran, melainkan ruang batin (roso) yang lahir dari kesadaran akan jati diri. “Pameran ini mengajak publik merefleksikan kemerdekaan yang tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga batin. Melalui karya seni interaktif, pengunjung diajak merasakan dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab,” tulisnya.
Bagi Vi Yanti, kemerdekaan bukan selalu hadir lewat pekik dan parade. Ia juga bisa menjelma menjadi air mata yang jatuh diam-diam, senyum yang lahir tanpa sebab, atau kesunyian yang justru memerdekakan.
Lio Gusca Vianos, salah satu peserta pameran, menuturkan bahwa “Rosopitu #2” memaknai kemerdekaan sebagai proses membebaskan diri dari keterkungkungan yang selama ini memenjarakan kemurnian rasa. “Pesan moralnya adalah melepaskan topeng-topeng kepura-puraan, sandiwara, dan kemunafikan terhadap diri kita sendiri, demi menuju kemurnian yang hakiki,” ujarnya. Namun, kebebasan itu bukan tanpa bingkai, ia tetap berpijak pada budaya, norma, dan aturan yang membentuk harmoni kehidupan.
Setiap perupa menyulam ceritanya sendiri. Ada yang mengabstraksi luka kolektif bangsa, ada yang menghidupkan kembali memori masa kecil, ada pula yang menyalakan lentera kesadaran akan keberagaman. Semua berakar pada tanah yang sama, Indonesia.
Meski berangkat dari momentum peringatan kemerdekaan, Kamardikan Rosopitu tidak diarahkan menjadi pesta visual yang riuh. Pameran ini lebih menyerupai ruang kontemplasi, tempat pengunjung diajak duduk sejenak, menepi dari bising dunia, dan mendengarkan suara-suara kecil di dalam diri.
Dari karya-karya yang terpajang, tampak bahwa kemerdekaan versi Wawasima Art tidak hanya soal melawan, tetapi juga menerima. Tidak hanya tentang bergerak maju, tetapi juga tentang berhenti sejenak untuk memahami.
“Merdeka bukan hanya tentang bendera,” tulis pengantar pameran. “Ia juga tentang ruang untuk merasa.” Pesan ini meresap di setiap sudut ruang pamer. Dari kanvas-kanvas berwarna pekat hingga garis tipis yang nyaris hilang, setiap karya seperti doa lirih namun tegas, mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah perjalanan batin yang tidak pernah selesai.
Selama sebulan penuh, publik Yogyakarta dan sekitarnya berkesempatan untuk merasakan sendiri tujuh dimensi rasa merdeka yang dihadirkan. Di akhir lorong pameran, ada sebuah catatan sederhana yang terasa seperti merangkum semuanya. “Selamat datang dalam ruang yang memerdekakan. Selamat datang di Kamardikan Rosopitu.” (tor)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar