Yogyakarta, jogja-ngangkring.com - Siang menjelang, di pinggir jalan di depan SDN 1 Kotagede, terlihat seorang lelaki paruh baya duduk di atas sebuah bangku kecil, sibuk dengan adonan tepung untuk membuat kue lekker. Sementara itu, beberapa orang berkumpul mengelilinginya, menunggu dengan penuh kesabaran untuk membeli kue lekker. Ini adalah kegiatan harian yang tak terpisahkan dari kehidupan Suprapto, seorang pedagang kue lekker berusia 57 tahun.
Suprapto telah menjalani profesi ini selama 35 tahun, mengikuti jejak sang ayah, Harjo Kartono. Kue lekker adalah kudapan tradisional dengan adonan gandum yang diberi isian irisan pisang, gula pasir, dan cokelat beras. Setiap hari ia menempuh perjalanan panjang dari rumahnya di Desa Nanggulan, Kulon Progo, sekitar 30 km dari Kotagede.
Berangkat pada pukul 05.30 WIB, tiba di tempat mangkal depan SDN Kotagede 1 sekitar pukul 06.30 pagi, dan melayani pembeli hingga pukul 15.00. Kadang-kadang, stok kue lekkernya habis sejak pukul 12.00 siang. Dia mengaku bahwa setiap hari membutuhkan dua belas kilogram adonan dan tiga sisir pisang untuk menjalankan usahanya. “Uang yang saya dapatkan dari 12 kilogram adonan itu sekitar Rp 700.000. Saya jual satu bijinya Rp 700 atau limaribu dapat tujuh,” Suprapto menjelaskan.
Perjalanan usaha Suprapto ini telah membuahkan hasil. Dia berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Anak sulungnya bahkan telah mandiri, memiliki rumah tangga sendiri dan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Salah satu pengalaman paling menggembirakan dalam hidupnya adalah ketika dia menjajakan kue lekker di Alun Alun Utara pada tahun 1989.
Pada masa itu Suprapto beberapa kali bertemu dengan putri-putri Sultan HB X dan kerabat keraton lain yang tengah bermain sepatu roda. Sesekali Sultan HB X juga membersamai putri-putrinya berjalan-jalan di sana.
"Sebagai orang kecil, bisa melihat Sultan dan keluarga dari kejauhan saja rasanya sudah senang. Apalagi terkadang mereka juga mampir, membeli dan menikmati kue lekker buatan saya, seneng poll rasanya. Sayangnya pada saat itu saya belum memiliki ponsel untuk mengambil foto," cerita Suprapto dengan semangat. Setelah Suprapto pindah lokasi jualannya ke Kotagede. Ia tidak lagi memiliki kesempatan untuk melihat Sultan HB X dari dekat. Ia hanya bisa melihatnya di televisi saat bersantai dengan keluarganya di rumah.
Sebagai wakil dari kalangan wong cilik, Suprapto berharap dapat berjualan dengan tenang tanpa terus-menerus menghadapi ancaman penggusuran. Dia menegaskan kesiapannya untuk patuh pada aturan, sambil berusaha mencari nafkah dengan jalan yang jujur. Dengan penuh semangat, Suprapto mengakhiri perbincangan, menyampaikan aspirasi dan harapannya untuk kemudahan akses dan pengakuan terhadap usaha para pedagang kecil seperti dirinya.
"Mewakili wong cilik, kami hanya ingin berjualan dengan tenang, tidak sebentar-bentar digusur. Jika ada aturan yang harus diikuti, kami akan patuh. Kami hanya mencoba mencari nafkah dengan cara yang jujur," imbuh Suprapto mengakhiri perbincangan. (yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar