Doa Ambal Warsa Cak Nun ke-72 "Cinta yang Menyatukan"
Yogyakarta, jogja-ngangkring.com – Minggu (25/05/2025) Selasar Barat Jogja Expo Center menjadi saksi sebuah perhelatan “Membaca Karya Emha dan Doa Ambal Warsa Cak Nun ke-72”. Diselenggarakan oleh Koperasi Jasa Seniman dan Budayawan Yogyakarta (KOSETA), acara ini merupakan wujud cinta, doa, dan penghormatan atas perjalanan hidup serta karya-karya Emha Ainun Nadjib—yang lebih akrab disapa Cak Nun.
Sejak pukul 06.00 WIB, berbagai kalangan hadir: akademisi, seniman, budayawan, aktivis, pelaku usaha, hingga masyarakat umum lintas generasi dan agama. Mereka larut dalam suasana khidmat—membaca puisi, mengungkapkan kesan, dan mendoakan kesembuhan Cak Nun yang tengah menjalani proses pemulihan.
Acara dipandu oleh MC Dewa PLO dan Setiawan Tiada Tara. Pembukaan dilakukan oleh Robby Kusumaharta, Wakil Ketua Umum KADIN DIY, yang mewakili Jogja Expo Center. Sejumlah tokoh penting turut tampil membaca karya-karya Cak Nun, antara lain Prof. Panut Mulyono, Prof. Fathul Wahid, Prof. Yudaryani, Mustofa W. Hasyim, Evi Idawati, dan Yati Pesek. Mereka menghadirkan pembacaan yang menyentuh, mencerminkan kekayaan pemikiran Cak Nun yang menjembatani spiritualitas, intelektualitas, dan budaya.
Kesan pribadi juga dibagikan oleh para peserta. Tazbir Abdullah, misalnya, membacakan puisi “Indonesia Aku Sangat Mencintaimu” (2017), sementara Dr. Aning Ayu Kusumawati membawa kembali “Simpanlah Kembali” (1990). Agus Hartono menyentil isu ekologi melalui puisinya tentang sampah, menegaskan pesan keberlanjutan yang selama ini digaungkan oleh Cak Nun.
Cak Nun adalah figur langka: mendalam dalam spiritualitas, namun menolak gelar-gelar formal seperti kiai atau gus. Baginya, “Aku kamu, kamu aku, sama.” Prinsip kesetaraan ini menjadi ruh dalam banyak karyanya. Seperti yang dikisahkan Yati Pesek dalam pengalamannya bersama KH Maimun Zubair: “Kalau kita salat, puasa, apakah kita jadi orang Arab?” Mbah Moen menjawab, “Tidak, kamu tetap orang Jawa.” Nilai ini pula yang konsisten dibawa Cak Nun—menjalankan syariat tanpa meninggalkan identitas budaya lokal.
Simbol cinta lintas iman juga tampak ketika Timotyus Apriyanto menyanyikan lagu “Tuhan” jelang akhir acara. Lagu itu menjadi penanda bahwa karya dan kasih Cak Nun menyentuh siapa saja, melampaui sekat agama dan golongan.
Kiai Mustafid, salah satu tokoh agama yang dekat dengan Cak Nun, menegaskan:
“Cak Nun adalah tokoh yang bisa diterima semua golongan. Beliau berani menyampaikan kebenaran dalam keadaan apa pun.”
Hal ini menunjukkan keberanian dan integritas Cak Nun yang tak goyah, bahkan di tengah dinamika sosial-politik yang menantang.
Cak Nun selalu menekankan bahwa pembangunan bangsa tak cukup dengan fisik, tapi juga memerlukan pembangunan jiwa. Ia mengajak pada kejujuran, kesadaran diri, dan keberpihakan kepada yang lemah. Melalui pendekatan dialogis, ia membuka ruang kontemplatif untuk memahami jati diri dan masa depan bangsa.
Di tengah tantangan zaman—dari polarisasi politik hingga krisis ekologi—gagasan Cak Nun tetap relevan. Ia hadir sebagai cermin, pelita, dan pengingat moral. Ia bukan sekadar budayawan, tapi pembentuk arah moral bangsa. Warisannya tidak hanya tertulis di teks atau panggung, tetapi hidup dalam hati rakyat yang disentuhnya.
Sebagai penutup, Dr. H. Adzfar Ammar dan Kiai Mustafid memimpin doa bersama untuk kesehatan dan keberkahan usia Cak Nun. Doa yang mengalir lembut, berisi harapan agar beliau segera pulih dan kembali menyuarakan kasih serta keadilan, seperti yang telah ia lakukan lebih dari lima dekade.
Dalam usia 72 tahun, Cak Nun tetap menjadi sumber energi. Seperti disampaikan Prof. Fathul Wahid,
“Karya-karyanya adalah bahan bakar semangat bagi generasi muda.”
Perayaan ini bukan sekadar ulang tahun. Ia adalah momentum perenungan, apresiasi, dan pembacaan kehidupan. Membaca cinta. Membaca Indonesia. Membaca Cak Nun—sebagai ruh yang terus hidup, lintas batas, lintas zaman. ( Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar