TERAS

Seruan dari Jogja: Lawan Oligarki

  • Administrator
  • Jumat, 18 Juli 2025
  • menit membaca
  • 22x baca
Seruan dari Jogja: Lawan Oligarki

Seruan dari Jogja: Lawan Oligarki

Sleman, jogja-ngangkring.com – Dua abad setelah Perang Jawa meletus (1825–1830), semangat perlawanan itu kembali dihidupkan, bukan sebagai romantisme masa lalu tetapi sebagai panggilan moral untuk menghadapi krisis kebangsaan hari ini. Di tengah arus dominasi kekuatan ekonomi-politik yang kian terpusat pada segelintir elit serta identitas bangsa yang semakin kabur, seruan untuk membangkitkan kembali roh Diponegoro terdengar dari lereng utara Yogyakarta. Pada Kamis malam, 17 Juli 2025, para budayawan, seniman, akademisi, aktivis gerakan reformasi, hingga pejabat negara berkumpul dalam Peringatan 200 Tahun Perang Jawa yang digelar di Jawa Village Resort, Pandowoharjo, Sleman. Agenda ini menjadi ruang bersama untuk menggali ulang jati diri bangsa, serta mendorong kesadaran baru atas persoalan keadilan dan kedaulatan nasional.

Acara ini bukan semata-mata peringatan sejarah. Ia menjelma menjadi forum reflektif yang menegaskan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan belum selesai. Diponegoro, tokoh utama dalam Perang Jawa, tidak hanya melawan kolonialisme Belanda secara militer. Ia juga menolak dominasi budaya asing yang secara halus merusak akar spiritual dan sosial bangsa Jawa. Diponegoro memperlihatkan bahwa karakter sejati bangsa lahir dari keberanian untuk mandiri, bersuara, dan melawan sistem yang menindas.

Dalam kesempatan itu, Wakil Menteri Sosial RI, Agus Jabo Priyono, menyampaikan pesan tegas: Peringatan dua abad Perang Jawa harus dijadikan momentum membangkitkan kesadaran nasional. Menurutnya, perjuangan Diponegoro adalah ekspresi dari upaya mempertahankan jati diri bangsa dari dominasi asing dan elite lokal yang kehilangan arah sejarah. 

“Perang ini bukan hanya tentang senjata. Ini tentang harga diri, tentang identitas. Diponegoro sadar bahwa bangsa tanpa karakter hanya akan jadi pengikut kekuatan luar,” ujar Agus Jabo. Ia juga mengutip kembali ajaran Presiden Soekarno tentang nation and character building, dan mengkritisi kenyataan bahwa hingga kini Indonesia masih tampak seperti bangsa yang “bergerombol tanpa tujuan jelas.”

Dalam pandangannya, inilah akar dari banyak persoalan nasional: hilangnya keyakinan terhadap nilai-nilai sendiri, dan lunturnya keberanian untuk membela kepentingan rakyat. Di tengah kritik tersebut, Agus Jabo menyampaikan harapan pada masa depan, khususnya pada pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia menilai bahwa ada upaya nyata untuk membangun kembali fondasi kemandirian nasional. 

“Yang sedang diupayakan sekarang bukan sekadar program, tapi membangkitkan mata batin bangsa ini,” tuturnya. Agus Jabo juga menekankan pentingnya menggali kembali kekuatan spiritual bangsa, sebagaimana diwariskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Diponegoro. Ia menyebut bahwa karakter bangsa bukan hanya urusan ideologi atau sistem politik, melainkan soal keberanian moral, daya tahan batin, dan keberpihakan pada keadilan.

Menutup forum, budayawan senior Sigit Sugito memberikan refleksi tajam tentang karakter masyarakat Jawa menurut Diponegoro. Ia menolak pandangan bahwa orang Jawa cenderung pasif atau menerima nasib.

“Orang sering salah kaprah. Jawa dianggap pasrah. Padahal Diponegoro membuktikan bahwa Jawa itu keras, teguh, dan tidak tunduk pada tirani,” ujarnya. Menurut Sigit, Diponegoro bukan panglima yang mengejar kekuasaan, melainkan seorang pejuang spiritual yang meninggalkan kenyamanan bangsawan demi menyatu dengan rakyat.

“Ia tinggalkan istana dan memilih hidup di tikar rakyat. Ia tidak menunggu legitimasi darah biru. Kepemimpinan, baginya, lahir dari keberanian moral,” tambahnya. Diponegoro, lanjut Sigit, memimpin dengan rasa, bukan ego. Ia menyatukan petani, ulama, dan rakyat biasa dalam satu perjuangan bersama. Inilah esensi karakter Jawa: masyarakat rasa yang bergerak bersama, bukan individu yang saling menaklukkan.

“Kalau hari ini kita ingin benar-benar bangkit, jangan hanya ganti rezim, tapi ganti cara berpikir. Bangkitkan kembali nilai spiritual, rasa keadilan, dan keberpihakan kepada wong cilik,” tegasnya.

Dua ratus tahun sejak perang Diponegoro, kita dihadapkan pada pertanyaan yang sama: akankah bangsa ini tetap setia pada nilai-nilainya, atau terus hanyut dalam arus kepentingan asing dan elite semu?

Acara ini menumbuhkan kesadaran bersama: bahwa Indonesia hari ini membutuhkan arah yang jelas dan berpijak pada identitasnya sendiri. Di tengah derasnya arus global, nilai-nilai seperti gotong royong, kesetaraan, dan spiritualitas bukanlah warisan yang usang, tetapi fondasi yang harus dihidupkan kembali. Peringatan ini bukan soal seremonial. Ini soal keberanian untuk menatap masa depan dengan karakter yang teguh, dan tidak lagi menjadi bangsa pengikut. Diponegoro telah memberikan teladan. Kini giliran kita menyalakan kembali obor itu. Bukan untuk membakar, tetapi untuk menerangi jalan yang mulai redup. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar