TERAS

Lumbung Beras Rakyat, Jalan DIY Menuju Swasembada

  • Administrator
  • Rabu, 09 Juli 2025
  • menit membaca
  • 60x baca
Lumbung Beras Rakyat, Jalan DIY Menuju Swasembada

Lumbung Beras Rakyat, Jalan DIY Menuju Swasembada

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com — Di tengah kekhawatiran global soal krisis pangan, satu gagasan lama kembali menyeruak dari jantung agraris Jawa: membangun Lumbung Beras DIY. Bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi sebagai sistem nyata menuju kemandirian pangan daerah. Inisiatif ini mencuat dari gerakan akar rumput, khususnya Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) DIY, yang mendorong langkah konkret untuk menjawab defisit produksi beras lokal yang makin mengkhawatirkan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY tahun 2024, kebutuhan beras di provinsi ini mencapai lebih dari 500.000 ton per tahun. Namun produksi petani setempat baru menyentuh angka sekitar 350.000 ton. Artinya, ada selisih lebih dari 150.000 ton yang harus dipenuhi dari luar daerah.

“Kondisi ini membuat DIY sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan distribusi pangan. Jika terjadi gangguan pasokan dari luar, kita bisa kolaps,” ujar Drs. R. Widi Handoko, Ketua Harian HKTI DIY, saat ditemui di kantor HKTI DIY, Minggu (7/7).

Widi menegaskan, konsep lumbung beras yang digaungkan bukan sekadar tempat menyimpan gabah atau beras. Dalam pandangan HKTI, lumbung beras adalah sistem sosial-ekonomi yang menopang ketahanan komunitas desa.

“Dalam budaya Jawa, lumbung pangan atau leuit adalah simbol kedaulatan rakyat atas pangan. Ia lahir dari semangat gotong royong, kendali sosial, dan siklus panen yang berpihak pada keberlangsungan hidup,” jelasnya. Konsep ini kini diadaptasi secara modern, tidak hanya sebagai gudang fisik, tapi juga institusi ekonomi desa yang mengelola surplus panen, menjadi buffer stock saat paceklik, dan melindungi petani dari tengkulak.

HKTI DIY memetakan empat pilar strategis menuju DIY Mandiri Pangan, yaitu:

1. Peningkatan Produktivitas Petani Lokal

Saat ini, rata-rata produktivitas sawah DIY masih di kisaran 5,1 ton per hektare. Angka ini jauh dari potensi optimal. Melalui pelatihan teknologi tepat guna, penerapan pertanian presisi, serta penggunaan benih unggul, HKTI menargetkan produktivitas naik menjadi 6,5 hingga 7 ton/ha.

“Gunungkidul punya potensi besar untuk pengembangan padi gogo. Sleman dan Bantul bisa dimaksimalkan dengan irigasi modern. Tapi harus ada dukungan teknologi dan pendampingan,” tegas Widi.

2. Revitalisasi Lumbung Pangan Desa

Lumbung pangan desa yang dulu aktif kini banyak yang mati suri. Padahal, keberadaan lumbung bisa jadi penyelamat kala harga jatuh atau gagal panen. Revitalisasi ini membutuhkan sinergi antara BUMDes, koperasi tani, dan pemerintah desa.

“Lumbung ini akan kami desain sebagai food bank desa. Tidak hanya menyimpan gabah, tapi juga mengelola, menjual, hingga mendistribusikan ke masyarakat saat krisis,” jelasnya.

3. Akses Modal dan Jaminan Harga

Salah satu hambatan terbesar petani adalah ketidakpastian harga. HKTI mendorong pembentukan sistem floor price (harga dasar) melalui koperasi tani atau BUMDes. Hal ini akan memberi kepastian kepada petani untuk menanam.

“Petani butuh jaminan bahwa hasil panennya tidak dijual rugi. Selain itu, akses ke perbankan dan lembaga keuangan mikro juga harus dibuka lebih luas,” ujarnya.

4. Pengendalian Alih Fungsi Lahan

Lahan pertanian di DIY, terutama di Sleman dan Bantul, makin terdesak oleh pembangunan perumahan dan industri. Dalam dua dekade terakhir, ratusan hektare sawah produktif beralih fungsi. Widi menyebut, tanpa regulasi tegas dan insentif kepada pemilik lahan, swasembada pangan hanya akan jadi mimpi.

“Rencana tata ruang harus berpihak pada pangan. Bahkan kalau perlu, sawah produktif dilindungi dengan status hukum khusus,” tegasnya.

Widi menyebut bahwa semua inisiatif ini tak bisa hanya bertumpu pada semangat petani. Butuh kemauan politik dari pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan yang berpihak. Anggaran yang memadai dan keterlibatan akademisi juga sangat penting.

“Universitas di DIY banyak yang punya fakultas pertanian dan teknologi pangan. Ajak mereka. Jadikan Yogyakarta sebagai laboratorium kedaulatan pangan,” katanya.

HKTI juga membuka ruang bagi para investor sosial dan pegiat CSR untuk terlibat. “Kami ingin membangun ekosistem pangan, bukan proyek jangka pendek,” ujarnya.

Saat ini, DIY berada di persimpangan,  apakah akan tetap bergantung pada pasokan pangan luar daerah, atau mulai membangun ketahanan dari desa-desa sendiri. Dengan ancaman perubahan iklim, krisis energi, dan geopolitik global, kemandirian pangan bukan sekadar kebutuhan lokal—tetapi bagian dari strategi nasional.

“Kami percaya, DIY bisa. Kita punya SDM petani yang kuat, budaya gotong royong yang masih hidup, dan semangat muda yang inovatif. Tinggal satu: kemauan untuk melangkah bersama,” tutup Widi. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar