Watu Kuro: Angkringan Seni di Kaki Merapi
Sleman, jogja-ngangkring.com – Di kaki Gunung Merapi, berdiri sebuah angkringan yang lebih dari sekadar tempat makan. Ia menjelma menjadi ruang perjumpaan, laboratorium kultural, sekaligus kanvas hidup yang menyatu dengan alam. Namanya Angkringan Watu Kuro, terletak di Dusun Ngetiran, Rejodani, Sariharjo, Ngaglik, Sleman—sebuah titik hening yang menghadirkan udara sejuk, suasana teduh, dan seduhan rempah yang menghangatkan raga dan jiwa.
Dibuka pada 2 Juli 2025, angkringan ini berdiri di atas lahan seluas 700 meter persegi, dengan bangunan utama 6x12 meter yang berpijak di atas tanah penuh batu sisa endapan Merapi. Tapi alih-alih menyingkirkan batu-batu itu, pendirinya memilih menjadikannya bagian dari narasi tempat. Lewat tangan dingin Sriyadi Srintil—pelukis sekaligus alumnus Filsafat UGM 1987—batu-batu itu ditransformasi menjadi karya seni. Kura-kura dan simbol kehidupan digoreskan langsung di atas permukaan batu, menjadikannya kanvas alami yang memancarkan ruh estetika dan filosofi.
“Daripada membuang batu dengan biaya besar, kami menjawabnya dengan seni,” tutur Sriyadi saat ditemui jogja-ngangkring, di sela senja yang merambat turun.
Memasuki area angkringan, pengunjung langsung disambut harmoni alam yang mulai langka di kota. Suara angkup nangka
berpadu dengan kicau burung liar seperti bubut, trotokan, kutilang, penthet, hingga suara lembut perkutut. Sore adalah waktu paling syahdu untuk menikmati racikan khas Wedhang Watu Kuro, minuman herbal dari jeruk, kapulaga, sereh, jahe, kunyit, cengkeh, hingga asem. Bukan hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga membawa ketenangan batin.
Saat malam menjemput, suasana menjadi lebih magis. Tanpa polusi cahaya, bulan dan bintang menghias langit hitam. Tidak ada deru kendaraan atau lampu kota yang menyilaukan—hanya percakapan ringan, aroma kayu, dan detak alam yang mengantar nostalgia. Seolah waktu berhenti, memberi ruang bagi kenangan untuk kembali. Bagi sebagian orang, Watu Kuro adalah mesin waktu. Bagi lainnya, ia rumah kedua yang penuh keakraban.
Tak heran jika banyak alumni UGM—terutama para mantan aktivis gelanggang mahasiswa—menjadikan tempat ini sebagai titik temu. Mereka datang bukan hanya untuk menyeruput kopi, tapi juga untuk berbagi kisah, melepas rindu, bahkan merancang ide-ide baru. Angkringan ini berkembang sebagai ruang alternatif sosial: tempat diskusi, pembacaan puisi, hingga pertunjukan musik akustik dalam suasana yang intim. Soal rasa, Watu Kuro menyajikan menu yang dekat dengan lidah kampung: nasi kucing, sate usus, tempe bacem, sambal terasi, hingga sayur lodeh dan oseng mercon. Semua disajikan tanpa polesan berlebih—mengandalkan ketulusan rasa dan kehangatan dapur rumahan. Mengingatkan kita pada masakan ibu: sederhana, tapi membekas.
Tak perlu cemas soal akses dan kenyamanan. Area parkir cukup luas untuk menampung puluhan kendaraan, dengan tata ruang yang tertata rapi. Meja-meja kayu berpadu dengan cahaya temaram dan elemen batu, menciptakan atmosfer yang otentik dan menenangkan. Angkringan Watu Kuro bukan sekadar tempat singgah. Ia adalah ruang narasi—tempat merenung, berbincang, berbagi, dan menyatu dengan alam dalam harmoni yang nyaris punah di tengah dunia yang serba tergesa.
Jika Anda merindukan suasana tempo dulu, semilir angin pedesaan, dan aroma rempah yang menenangkan, datanglah ke Ngetiran, Rejodani. Di sana, Watu Kuro menanti Anda: untuk sejenak berhenti, menghela napas panjang, dan merasakan damai yang lama hilang. (Yun)
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar