KAMPUS KARIER

Migrasi Tenaga Kerja Terampil Harus Dikelola Negara, Bukan Dilepas Pasar

  • Administrator
  • Senin, 07 Juli 2025
  • menit membaca
  • 9x baca
Migrasi Tenaga Kerja Terampil Harus Dikelola Negara, Bukan Dilepas Pasar

Migrasi Tenaga Kerja Terampil Harus Dikelola Negara, Bukan Dilepas Pasar

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com — Pernyataan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, yang mendorong pengiriman tenaga kerja terampil ke luar negeri sebagai strategi mengatasi pengangguran, menuai respons positif dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Arya Ariyanto, pemerhati tenaga kerja migran dan pelatih vokasional, yang menilai strategi tersebut sangat masuk akal—asal negara hadir secara utuh dalam sistem penempatan.

“Saya setuju dengan Pak Karding. Kita punya bonus demografi yang luar biasa. Tapi migrasi tenaga kerja itu tidak boleh dibiarkan jadi urusan pasar semata. Negara harus hadir dari hulu ke hilir,” ujar Arya saat ditemui kemarin.

Menurut Arya, paradigma masyarakat terhadap pekerja migran harus direvolusi. Ia menegaskan bahwa pasar kerja global justru sangat terbuka bagi pekerja terampil dan profesional, bukan hanya buruh sektor domestik.

“Kita harus mulai bicara tentang export of skills, bukan sekadar buruh. Dunia membutuhkan caregiver, teknisi otomotif, barista bersertifikat, bahkan remote worker di bidang IT. Masalahnya, sistem pelatihan kita masih ketinggalan zaman,” ungkap Arya. Ia menyambut baik langkah pendirian Migrant Center di kampus seperti Undip, namun berharap pusat-pusat serupa juga hadir di daerah kantong PMI seperti Wonosobo, Ponorogo, atau Lombok.

Arya menekankan bahwa tanggung jawab negara tidak selesai saat tenaga kerja diberangkatkan. Masalah terbesar pekerja migran sering terjadi justru saat di negara tujuan.

“Kita masih dengar kasus overstay, kerja di luar kontrak, eksploitasi jam kerja. Ini karena banyak calon PMI belum siap secara mental, bahasa, atau hukum. Maka pelatihan pra-keberangkatan harus serius, bukan formalitas,” katanya.

Ia juga menyarankan agar kerja sama bilateral difokuskan pada sektor formal, dengan jaminan perlindungan dan akses hukum yang kuat bagi PMI.

Arya juga mengingatkan bahwa remitansi dari PMI jangan hanya dilihat sebagai pemasukan rumah tangga, tapi sebagai alat transformasi ekonomi desa.

“Bayangkan kalau tiap PMI pulang dan bisa buka usaha kecil, jadi mentor pelatihan, atau ikut koperasi migran. Tapi sayangnya, uang remitansi banyak yang habis konsumsi karena tidak ada pendampingan,” jelasnya.

Ia menyarankan agar pemerintah daerah, Dinas Ketenagakerjaan, dan BUMDes membangun sistem reintegrasi ekonomi bagi mantan PMI.

Sebagai pemerhati tenaga migran, Arya menyebut migrasi tenaga kerja sebagai hak warga negara yang harus dijamin negara, bukan dijadikan komoditas.

“Saya senang ada perubahan pendekatan. Tapi jangan sampai pekerja migran terampil hanya dijadikan mesin devisa. Mereka adalah manusia, warga negara, duta bangsa. Mereka butuh sistem yang adil, aman, dan bermartabat,” tegasnya. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar