Harga Meroket, Perajin Perak Kotagede di Ujung Tanduk

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com (21/10/2025) — Industri kerajinan perak Kotagede, yang selama puluhan tahun menjadi ikon budaya dan ekonomi Yogyakarta, kini berada di titik kritis. Kenaikan harga bahan baku perak yang melonjak hampir dua kali lipat sejak awal tahun mengancam produksi lumpuh dan banyak pengrajin akan gulung tikar.
“Sejak mulai menggeluti kerajinan perak tahun 1986, baru kali ini saya merasa masa paling berat,” ujar Priyo Salim, pemilik Salim Silver Jewelry di Kebohan, Purbayan, Kotagede, saat ditemui di bengkelnya minggu lalu.
Priyo menunjukkan catatan harga yang menggambarkan betapa cepat situasi memburuk. Pada Januari 2025, harga perak masih Rp15 juta per kilogram. Kini, Oktober 2025, sudah mencapai Rp29 juta per kilogram. “Naiknya hampir seratus persen hanya dalam waktu enam bulan. Dan yang lebih parah, barangnya pun sulit dicari,” ujarnya dengan nada getir.

Kenaikan harga terjadi hampir setiap bulan, Februari Rp16 juta/kg, Maret Rp17 juta, Mei Rp18 juta, Juni Rp20 juta, September Rp24 juta, dan kini Rp29 juta/kg. Situasi ini, kata Priyo, membuat pengrajin tak punya ruang bergerak. “Harga jual produk harus naik, tapi konsumen belum siap. Akhirnya pesanan dibatalkan. Tidak ada order, tidak ada bahan, kami berhenti total,” ujarnya.
Di sisi lain, para pedagang bahan baku juga memilih menahan stok. Mereka khawatir jika menjual sekarang, tak akan mampu membeli kembali ketika harga kembali naik. “Begitu mereka jual, harga naik lagi. Semua saling menunggu. Akhirnya sama-sama rugi,” kata Priyo.
Akibatnya, rantai produksi terputus. Pengrajin kehilangan bahan, toko kehabisan stok, dan pasar kehilangan pasokan. Beberapa toko perak daring di Kotagede bahkan sudah tutup permanen karena tak sanggup menyesuaikan harga jual dengan biaya produksi yang terus membengkak.
Krisis bahan baku yang melanda para perajin ternyata juga terkait faktor global. Kebutuhan perak dunia meningkat tajam karena menjadi bahan utama industri mobil listrik, panel surya, dan perangkat elektronik. Permintaan melonjak, pasokan stagnan, dan investor besar ikut menimbun perak untuk keuntungan spekulatif.
“Sekarang perak diburu industri teknologi dan para investor global. Mereka memprediksi harga akan terus naik. Kita yang pengrajin kecil hanya bisa gigit jari,” tutur Priyo.

Padahal, di balik krisis ini, Kotagede menyimpan sejarah panjang sebagai sentra perak tertua di Indonesia. Selama ratusan tahun, wilayah ini menjadi rumah bagi ratusan pengrajin yang mewarisi keahlian turun-temurun. Namun kini, dari bengkel-bengkel tua di gang sempit, hanya tersisa beberapa yang masih bertahan. Suara palu dan roda gerinda mulai jarang terdengar.
Yang lebih ironis, kerajinan perak Kotagede telah ditetapkan pemerintah sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) — sebuah pengakuan yang seharusnya melindungi dan menguatkan keberlanjutan warisan budaya ini. Namun di mata pelaku usaha, gelar itu kini terasa hanya sebagai simbol kosong.
“Kalau cuma jadi jargon politis, apa gunanya? Pemerintah bangga menyebut perak Kotagede sebagai karya adiluhung, tapi ketika bahan baku langka dan pengrajin kesulitan, siapa yang turun tangan?” ujar Priyo dengan nada kecewa.
Menurutnya, perhatian pemerintah sejauh ini lebih banyak berhenti pada seremoni. “Kami sering diajak ikut pameran, bahkan sampai ke luar negeri, tapi bahan bakunya tidak ada. Kualitas juga sulit memenuhi standar internasional karena keterbatasan alat dan modal. Itu sama saja bohong,” ujarnya tegas.
Bagi Priyo, problem industri perak tidak bisa diselesaikan secara parsial. Ia menilai, empat hal utama harus dibenahi secara bersamaan yaitu bahan baku, permodalan, teknik produksi, dan pemasaran.
“Kalau pemerintah hanya bantu promosi tapi tidak mengatasi masalah bahan dan modal, ya percuma. Ekosistemnya harus dibangun secara utuh,” katanya.
Tanpa langkah konkret, Priyo pesimis perak Kotagede akan bertahan lama. “Sekarang saja banyak pengrajin berhenti total. Ada yang jual alat, ada yang pindah profesi. Kalau dibiarkan, lima sampai sepuluh tahun lagi, perak Kotagede cuma tinggal cerita di buku sejarah,” ujarnya lirih.
Priyo menegaskan, harapan pelaku usaha sebenarnya sederhana yaitu kehadiran nyata pemerintah. Tidak hanya dalam bentuk wacana atau seremoni kebudayaan, melainkan kebijakan konkret yang berpihak.
“Selamatkan perak Kotagede bukan dengan festival, tapi dengan tindakan nyata. Kami butuh bahan baku, akses modal, dan pelatihan yang relevan. Kalau tidak, warisan ini akan hilang,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya keseriusan pemerintah dalam menjaga keseimbangan antara nilai budaya dan daya saing industri. “Kalau perak hanya dianggap barang kerajinan seni tanpa dibangun sistem industrinya, maka sulit untuk bertahan di tengah tekanan global,” katanya.
Kini, dari bengkel-bengkel kecil di Kotagede, hanya tersisa secercah semangat. Di antara tumpukan alat kerja yang berdebu dan sisa logam yang kian menipis, para perajin masih berusaha bertahan, berharap ada perubahan nyata.
“Kalau pemerintah tidak segera turun tangan, perak Kotagede akan tinggal nama,” tutup Priyo dengan nada penuh harap.
Di luar bengkel milik Priyo, suasana Kotagede tampak lengang. Dulu, setiap sore terdengar denting palu dan guratan api dari proses pembakaran logam mulia. Kini, keheningan menjadi saksi perlahan padamnya denyut ekonomi berbasis tradisi yang pernah menjadi kebanggaan bangsa. (Yuliantoro)
 
                     
                                                     
                                                     
                                                     
                                                    
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar