TERAS

Membangun Kesadaran HAM dari Rumah

  • Administrator
  • Selasa, 09 Desember 2025
  • menit membaca
  • 120x baca
Membangun Kesadaran HAM dari Rumah

Membangun Kesadaran HAM dari Rumah

Oleh: Yuliantoro

Refleksi Hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia setiap 10 Desember selalu menjadi momen penting untuk menguji seberapa jauh bangsa ini menegakkan martabat manusia. Namun ironisnya, pembicaraan HAM kerap terjebak dalam wacana besar -UU, tribun hukum, sidang internasional- tetapi melupakan akar paling mendasar yaitu keluarga dan lingkungan terdekat sebagai ruang pendidikan pertama bagi kesadaran HAM. Padahal, seperti ditegaskan Paulo Freire (1970), perubahan sosial mustahil lahir hanya dari sistem politik; ia membutuhkan conscientização, kesadaran kritis yang tumbuh dari proses pembelajaran sehari-hari. Kesadaran HAM tidak pernah berdiri sebagai konsep abstrak, melainkan lahir melalui pembiasaan yang konkret, pendidikan nilai, dan teladan nyata dalam relasi antarmanusia. 

Keluarga adalah sekolah moral pertama. Di sana anak belajar memahami bahwa setiap orang punya hak dan kewajiban. Menghormati pendapat, tidak mengganggu saat orang tua bekerja, terbiasa mendengar sebelum berbicara—adalah latihan awal mengenal HAM. Seperti diungkap Lev Vygotsky (1978), perilaku etis tumbuh melalui interaksi sosial  di lingkaran terdekat. Orang tua adalah role model, bukan pengawas. Ketika orang tua memperlakukan anak dengan adil, memberi ruang berekspresi tanpa intimidasi, dan menyelesaikan konflik dengan dialog, anak belajar bahwa martabat manusia tidak boleh dilukai.

Pembagian tugas rumah tangga yang adil menanamkan rasa tanggung jawab bersama. Permainan edukatif, storytelling nilai Pancasila, dan kegiatan positif seperti kerja bakti keluarga menjadi jembatan emosional yang memupuk empati dan toleransi. Keluarga yang egaliter menumbuhkan generasi yang memahami bahwa kekuasaan bukan alat menindas, tetapi amanah untuk melayani.

Dalam masyarakat yang plural, nilai HAM diuji melalui sikap menghormati perbedaan. Ketika seseorang terbiasa menerima keberagaman suku, agama, dan status ekonomi, ia tumbuh menjadi warga yang tidak mudah terprovokasi kebencian. Partisipasi dalam kegiatan sosial, gotong-royong lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat memperkuat solidaritas. Di sini HAM hadir sebagai tindakan kolektif, bukan slogan.

Keberanian menolak bullying, diskriminasi di sekolah atau tempat kerja, serta kemampuan menggunakan media sosial secara bermartabat adalah praktik nyata penegakan HAM. Remaja dan pemuda harus menjadi agent of change, bukan penyebar ujaran kebencian. Seperti dicatat Amartya Sen (1999), kebebasan bukan hanya hak individu, tetapi juga tanggung jawab sosial untuk menjaga ruang publik tetap manusiawi.

HAM bukan sekularisme yang memusuhi agama. Semua agama besar memuliakan martabat manusia. Islam mengangkat prinsip hurriyyah (kebebasan), ‘adl (keadilan), dan karāmah al-insān (kemuliaan manusia). Al-Qur’an menegaskan, “Sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Isra: 70). Kristen menempatkan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang layak dihormati. Ajaran Buddha menolak kekerasan pada makhluk hidup. Agama memerintahkan memuliakan hidup, bukan menindas sesama atas nama kebenaran tunggal. Dengan demikian, penegakan HAM bukan agenda Barat, melainkan kewajiban spiritual untuk menjaga martabat setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Negara hanya mungkin adil jika warganya terbiasa adil. Aparat hanya mungkin menghormati hak rakyat jika mereka tumbuh dalam ruang sosial yang menghargai HAM. Dan demokrasi hanya mungkin sehat jika masyarakat menolak budaya kekerasan dan penyalahgunaan kuasa sejak level keluarga. Maka, peringatan Hari HAM tidak cukup dengan pidato dan seminar. Ia harus diterjemahkan menjadi gerakan moral dari rumah ke sekolah, dari kampung ke negara, dari kesadaran personal ke struktur politik. Kita membutuhkan generasi yang bukan hanya fasih berbicara HAM, tetapi hidup bersama sebagai manusia seutuhnya.

Menegakkan HAM bukan sekadar membela korban, tetapi mencegah lahirnya pelaku. Dan itu dimulai hari ini, di meja makan keluarga, di ruang kelas, di group WhatsApp RT, di media sosial, di ruang publik yang kita tempati.

Hari HAM adalah cermin diri. Pertanyaan paling jujur hari ini bukan, “Apa yang pemerintah sudah lakukan?” melainkan "Apa yang sudah kita lakukan untuk menjaga martabat sesama manusia di mulai dari rumah?" Sejatinya peradaban bermula dari keluarga, dan keadilan lahir dari hati yang terbiasa menghargai manusia. (tor)

 

Daftar Pustaka

Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. 1970.
Vygotsky, Lev. Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. 1978.
Sen, Amartya. Development as Freedom. 1999.
Komnas HAM RI. Laporan Tahunan Penegakan HAM. 2023.
UUD 1945 Pasal 28 A–J tentang Hak Asasi Manusia.

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar