TERAS

Dongkelan, Jejak Luka Seorang Ulama Keraton

  • Administrator
  • Kamis, 05 Juni 2025
  • menit membaca
  • 16x baca
Dongkelan, Jejak Luka Seorang Ulama Keraton

Dongkelan, Jejak Luka Seorang Ulama Keraton

Yogyakarta, jogja-ngangkring.com - Di balik nama Dongkelan yang kini terdengar biasa—seperti nama kampung pada umumnya di Yogyakarta—tersimpan riwayat yang tak biasa. Tempat ini tidak hanya menjadi titik peta, tapi juga tapal batas antara ambisi dan keikhlasan, antara janji dan kecewa. Di sanalah, seorang ulama keraton pernah hidup, berjuang, dan perlahan menarik diri dari pusaran kekuasaan. Namanya Kiai Syihabuddin. Sejarah masyarakat kemudian menjulukinya “Kiai Dongkol”—bukan karena mudah marah, tapi karena menyimpan luka dari janji yang tak ditepati.

Kisah ini bermula pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Saat itu, ketegangan politik dalam keraton memuncak setelah Pangeran Sambernyawa—menantu Sultan sendiri—menyandang gelar KGPAA Mangkunegara I. Gelar tersebut memberi isyarat tentang kekuasaan yang mulai bergerak keluar dari pusat, dan bagi Sultan, itu terasa sebagai ancaman. Dalam kegelisahan itulah, ia menerima petunjuk gaib yang menyebutkan seorang “jago wiring kuning putih” dapat membantu mengatasi ancaman tersebut. Petunjuk itu membawanya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen.

Di sanalah Kiai Syihabuddin berada. Ia dikenal sebagai santri utama Kyai Al-Kahfi, dan ia menyanggupi permintaan Sultan, namun dengan dua syarat: ia ingin diangkat sebagai patih untuk menyebarkan syiar Islam, dan meminjam tombak pusaka Kanjeng Kiai Hageng Pleret. Syarat itu bukan semata demi kedudukan, melainkan sebagai bentuk legitimasi bahwa tugas ini bukan sekadar adu kekuatan, tapi juga misi keagamaan.

Pertemuan dengan Pangeran Sambernyawa terjadi. Serangan demi serangan dilancarkan oleh sang pangeran, namun tidak satupun yang berhasil menyentuh tubuh Kiai Syihabuddin. Sebaliknya, ia hanya memberikan satu tusukan perlahan sambil berbisik, “Pergilah dari sini. Mertuamu tak ingin kau terluka.” Kalimat itu cukup untuk membuat Sambernyawa mundur. Ia meninggalkan keraton, menceraikan istrinya, GKR Bandara, dan mengasingkan diri dari pusat kekuasaan. Kemenangan itu tidak ditandai oleh sorak, melainkan oleh keheningan yang memisahkan mereka berdua—antara kekuatan fisik dan kekuatan batin.

Namun kemenangan itu justru menjadi awal dari luka berikutnya. Ketika Syihabuddin kembali menagih janji, posisi patih telah diberikan kepada Tumenggung Yudanegara. Sebagai gantinya, Sultan menunjuknya sebagai penghulu patok negara di wilayah Selatan. Jabatan itu tentu tidak sembarangan, namun tetap saja tak sebanding dengan harapan yang telah ia pegang teguh sejak awal. Ia menerima, tapi tidak bertahan lama. Kecewa, namun tidak meledak. Ia diam, dan masyarakat mulai menyebutnya “Kiai Dongkol.”

Julukan itulah yang kemudian melekat, dan dari situlah nama Dongkelan dipercaya berasal. Sebuah tempat yang awalnya hanyalah tempat tinggal Kiai Syihabuddin, lalu perlahan menjadi simbol dari seseorang yang memilih menepi ketika tidak ingin merusak harga dirinya sendiri.

Meski menjauh dari panggung utama, Kiai Syihabuddin tidak benar-benar meninggalkan jejak. Pada tahun 1775, atas perintah Sultan, dibangunlah Masjid Pathok Negara Dongkelan—sekarang dikenal sebagai Masjid Nurul Huda. Masjid ini menjadi bagian dari jaringan masjid yang menandai batas wilayah Keraton Yogyakarta, sekaligus bentuk penghormatan kepada sang kiai. Di barat masjid itulah, makam Kiai Syihabuddin berada. Teduh, bersahaja, dan tidak mencolok.

Setiap tahun, peziarah datang dalam diam. Mereka berdoa, mengenang, dan memetik hikmah dari jalan sunyi yang pernah ditempuh seseorang yang sempat dipercaya memegang tombak pusaka, tapi akhirnya hanya menggenggam kecewa.

Kini, di tengah geliat kota yang terus tumbuh, Dongkelan tampak seperti kampung biasa. Tapi siapa sangka, di tanah ini pernah berdiri seorang ulama yang memilih tidak melawan ketika tak lagi dipercaya. Ia tidak membalas dengan amarah, tidak meninggalkan sejarah dengan rasa dendam. Ia hanya diam, dan diamnya menjadi nama. Sebab tidak semua warisan ditinggalkan lewat kuasa—kadang, justru lewat kesanggupan untuk menepi dengan tenang. (Yun)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar