Dua Purbaya, Banteng Mataram dan Penjaga Keuangan Negara
Oleh: Yuliantoro
Dalam sejarah Mataram Islam, nama Pangeran Purbaya dikenal sebagai simbol keberanian dan kesetiaan. Putra Panembahan Senopati ini bukan hanya bangsawan istana, melainkan 'Banteng Mataram', penjaga kedaulatan kerajaan dari ancaman luar dan intrik dalam. Dalam berbagai babad, Purbaya yang juga dikenal dengan julukan 'Jaka Umbaran' ini digambarkan sebagai satria yang teguh memegang prinsip bahwa lebih baik gugur di medan laga daripada hidup dengan mengkhianati negara.
Pangeran Purbaya menegakkan nilai luhur Jawa sesuai dengan prinsip 'ngawula marang nagari', mengabdi sepenuh jiwa kepada negara. Ia bukan hanya pelindung kerajaan, tapi juga penjaga moral kekuasaan. Dalam hal ini loyalitas bukan sekadar urusan darah biru, melainkan tanggung jawab terhadap rakyat dan negeri. Nasionalisme dalam wujud awalnya lahir dari pengorbanan pribadi demi kepentingan bersama.
Empat abad kemudian, nama 'Purbaya' kembali muncul, kali ini di tengah republik modern yang sedang bergulat dengan krisis fiskal dan tekanan ekonomi global. Purbaya Yudhi Sadewa, Ph.D., M.F., kini berdiri di medan pertempuran yang berbeda, bukan lagi di alun-alun kerajaan melainkan di ruang kebijakan fiskal negara. Di tengah defisit, ketimpangan, dan tekanan politik, ia tampil sebagai teknokrat yang berani mengambil keputusan tidak populer demi menyelamatkan keuangan negara.
RM. Purbaya Yudhi Sadewa, putra pasangan Prof. Dr. Drh. BRAy. Nawangsari J. Sugiri dan R.M.H. Ir. J. Sugiri, M.Agro., namanya sarat doa dan harapan agar mewarisi semangat, keteguhan, kecerdasan, dan keberanian leluhurnya dalam menghadapi gentingnya zaman. Jika Pangeran Purbaya bertempur dengan pedang dan kesaktian, maka Purbaya Yudhi Sadewa berjuang dengan data, integritas, dan nalar ekonomi.
Di era ketika politik kerap lebih gemar menjual citra daripada kinerja, keberanian semacam ini terasa langka. Sebagai pejabat publik, ia menolak tunduk pada tekanan dan populisme fiskal. Ia berbicara dengan logika, bukan emosi; dengan prinsip, bukan kepentingan. Keberaniannya mengedepankan disiplin fiskal dan tata kelola bersih mencerminkan bentuk baru dari kepahlawanan birokratis ksatria tanpa pedang, tapi dengan integritas yang tajam.
Sejarah seolah berulang dengan wajah berbeda. Dulu, Pangeran Purbaya menjaga benteng Mataram agar tidak runtuh oleh intrik dan kolonialisme. Kini, Purbaya Yudhi Sadewa menjaga benteng republik agar tidak jebol oleh kebijakan sembrono dan korupsi struktural. Keduanya sama-sama mempertahankan kedaulatan, yang satu dengan darah, yang lain dengan akal dan moral.
Dalam sistem politik yang sering gamang, di mana loyalitas bisa ditukar dengan posisi dan anggaran, keberanian untuk teguh pada nilai menjadi kemewahan. Figur seperti Purbaya menunjukkan bahwa nasionalisme tidak tumbuh dari slogan, tetapi dari tindakan nyata menjaga keuangan publik dari penyalahgunaan. Integritas adalah benteng terakhir negara. Tanpa itu, semua kemegahan ekonomi hanyalah pasir yang mudah runtuh.
Kisah dua Purbaya mengingatkan bahwa perjuangan bangsa selalu menuntut keberanian: dari medan perang hingga meja rapat kabinet, dari senjata hingga kebijakan. Kedaulatan bukan hanya urusan militer, tapi juga urusan fiskal, moral, dan keadilan sosial. Bila di masa lalu Mataram bertahan karena kesetiaan para satria, maka republik hari ini bertahan karena integritas para teknokrat yang tidak mau menjual prinsipnya.
Dalam kebudayaan Jawa nama adalah doa. Maka ketika nama Purbaya kembali bergema dalam republik, sejarah seperti memberi pesan bahwa semangat pengabdian tidak pernah punah, hanya berganti bentuk. Dari Banteng Mataram menjadi penjaga neraca negara; dari peperangan fisik menjadi perjuangan moral melawan godaan kekuasaan dan kepentingan sesaat.
Bangsa yang besar bukan hanya yang memiliki pahlawan di masa lalu, tetapi juga yang melahirkan penjaga nilai di masa kini. Jika Pangeran Purbaya adalah simbol keberanian mempertahankan kedaulatan tanah air, maka Purbaya Yudhi Sadewa adalah simbol keberanian menjaga kedaulatan fiskal — benteng terakhir kemandirian bangsa. Dan mungkin, dengan cara yang lebih senyap tapi tak kalah heroik, sejarah sedang menulis ulang dirinya: dari pedang menuju pena, dari medan laga menuju ruang kebijakan, dari darah menjadi integritas.
 
Yuliantoro, penulis lepas alumnus Sosiologi UGM
                    
                                                    
                                                    
                                                    
                                                    
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar