TERAS

Hidupkan Kearifan Lokal Menuju Indonesia Berdaulat Pangan

  • Administrator
  • Selasa, 02 Desember 2025
  • menit membaca
  • 142x baca
Hidupkan Kearifan Lokal Menuju Indonesia Berdaulat Pangan

Hidupkan Kearifan Lokal Menuju Indonesia Berdaulat Pangan

Oleh: Yuliantoro

Di hamparan Nusantara yang membentang dari Sabang sampai Merauke, tumbuh beragam anugerah pangan. Mulai padi, jagung, sorgum, sagu, singkong, dan aneka umbi-umbian. Semua itu bukan sekadar tanaman, melainkan identitas kultural yang membentuk peradaban bangsa-bangsa di Nusantara. Setiap wilayah memiliki cara sendiri dalam menanam, mengolah, dan memaknai pangan. Di Tanah Papua, sagu adalah marwah. Di Madura dan Nusa Tenggara, jagung adalah hidup. Di Maluku, papeda adalah kebanggaan. Di Jawa masa lalu, nasi bukan hanya dari beras tetapi juga tiwul, growol, dan gatot.

Namun sejarah berubah, terutama ketika rezim Orde Baru menjadikan Swasembada Beras sebagai proyek politik nasional. Dengan slogan besar “Berdikari dalam beras”, pemerintah memaksakan penyeragaman pangan melalui kebijakan intensifikasi, ekstensifikasi, mekanisasi, dan revolusi hijau. Benih lokal diganti varietas padi unggul, kebun sagu ditebang, ladang-ladang jagung dialihfungsikan, dan makanan pokok non-beras dipinggirkan dalam stigma “makanan orang miskin”. Kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun dibungkam hanya demi satu ukuran keberhasilan - beras. Kebijakan ini memang melahirkan euforia sesaat ketika Indonesia menyatakan diri mencapai swasembada beras tahun 1984. Namun di sisi lain, dampak kultural, ekologis, dan ekonomi dari penyeragaman itu begitu panjang dan masih kita rasakan hingga hari ini.

Paradigma ketahanan pangan selalu dipahami secara sempit, yaitu cukup beras berarti cukup pangan. Padahal, menurut kerangka Food Sovereignty La Via Campesina, kedaulatan pangan tercapai ketika bangsa mengelola sistem pangannya sendiri berdasarkan budaya, lingkungan alam, dan pilihan masyarakat, bukan berdasarkan komoditas tunggal yang dipaksakan negara.

Indonesia bukan negara padi. Indonesia adalah negara multi-pangan. Ekolog kita, Emil Salim, pernah menegaskan bahwa keberagaman ekosistem Nusantara menuntut keberagaman komoditas pangan. Pendekatan one size fits all mustahil diterapkan di wilayah yang tanah, curah hujan, topografi, dan adatnya berbeda. Sagu tidak mungkin diganti padi di lembah Asmat. Jagung tidak mungkin dicabut dari tradisi orang Sumba. Dan tiwul tidak bisa dicela di Gunung Kidul yang tanahnya berbatu.

Penyeragaman membuat ketergantungan. Ketergantungan membuat rapuh.
Hari ini, kita menyaksikan ironi besar. Indonesia negeri agraris maritim yang 70% wilayahnya lautan dan beriklim tropis—justru masih mengimpor beras, gandum, kedelai, bawang putih, gula, dan garam. Padahal semua bisa diproduksi di dalam negeri bila kearifan lokal dan diversifikasi pangan dikembalikan pada marwahnya.

Fenomena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengurangi konsumsi beras putih bukanlah tren semata, tetapi alarm kesehatan. Beras putih memiliki Indeks Glikemik tinggi. Artinya, ia cepat diubah menjadi glukosa darah. Konsumsi berlebihan dalam jangka panjang meningkatkan risiko obesitas, resistensi insulin, dan diabetes melitus tipe 2—penyakit yang kini menjadi silent pandemic dan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia.

Sebaliknya, pangan lokal seperti sorgum, jewawut, jagung giling, talas, dan umbi-umbian memiliki serat lebih tinggi, indeks glikemik rendah hingga sedang, serta mineral dan protein yang lebih seimbang sehingga melepaskan energi secara perlahan dan menjaga stabilitas gula darah. Secara medis, ini jauh lebih menyehatkan dan cocok bagi masyarakat modern yang aktivitas fisiknya menurun.
Jika kesehatan rakyat merupakan tujuan politik tertinggi negara, maka menghidupkan pangan lokal adalah strategi kesehatan nasional.

Bangsa yang besar bukan bangsa yang menyeragamkan identitas rakyatnya, tetapi bangsa yang memuliakan kekayaan budayanya. Swasembada pangan sejati harus bertumpu pada tiga pilar. Pertama, diversifikasi pangan berbasis kearifan lokal. Menghidupkan kembali sagu di Papua, sorgum di NTT, jagung di Madura, jewawut di Jawa, talas di Sumatera, dan umbi-umbian di seluruh Nusantara sebagai bagian dari kedaulatan pangan.
Kedua, kedaulatan petani . Membangun pertanian tradisional-modern yang berpihak kepada petani kecil, bukan korporasi benih dan pupuk.
Ketiga, Ekologi dan budaya. Menempatkan alam dan manusia sebagai pusat pembangunan—bukan komoditas.

Sebagaimana dikatakan Sukarno, “Politik pangan adalah politik hidup mati bangsa.” Bangsa yang makan gandum impor tidak mungkin berdaulat. Bangsa yang menyerahkan perutnya pada pasar global tidak mungkin merdeka.

Saatnya Kita Berdaulat dalam Pangan
Membangkitkan kembali pangan lokal bukan nostalgia masa lalu, tetapi jalan menuju masa depan, masa depan ekonomi rakyat, masa depan kesehatan generasi , 
masa depan kemandirian bangsa .
Swasembada pangan berarti tidak bergantung pada satu komoditas. Swasembada pangan berarti menghormati keragaman wilayah. Swasembada pangan berarti memuliakan petani. Swasembada pangan berarti kedaulatan nasional.
Saatnya Indonesia kembali ke jati dirinya: negeri yang kaya, bijak, dan besar karena keberagaman. Karena pangan adalah identitas, martabat, dan kemerdekaan.

Kita tidak sedang melawan beras. Kita sedang membebaskan diri dari penyeragaman cara berpikir.
Bangkitlah pangan lokal. Bangkitlah kearifan Nusantara. Bangkitlah martabat Indonesia. "Swasembada Pangan – Untuk Indonesia Berdaulat". (Tor)

Tinggalkan Komentar

Kirim Komentar